2014 mungkin menjadi salah satu tahun istimewa buat Yves Saint Laurent. Desainer ternama kelahiran Algeria itu menjadi subjek utama dari dua film drama biografi yang berjudul namanya. Kali ini, saya akan membahas “Saint Laurent”, yang merupakan besutan sutradara Bertrand Bonello.
“The story that has never been told before,” merupakan tagline film ini. Penonton sudah diberikan sebuah ekspektasi yang cukup besar untuk mengikuti cerita hidup Yves Saint Laurent yang tak pernah terungkapkan. Ceritanya yang digarap oleh Bertrand Bonello dan Thomas Bidegain ternyata tidak meng-cover seluruh kehidupan Saint Laurent, melainkan hanya sebatas tahun 1967 sampai 1976 ketika Ia sedang berada dalam puncak kejayaannya.
Yves Saint Laurent, yang diperankan Gaspard Ulliel, merupakan seorang desainer jebolan House of Dior yang memulai fashion line-nya sendiri bersama Pierre Bergé, pebisnis sekaligus kekasihnya yang diperankan Jérémie Renner. Keduanya mendirikan brand ini sejak tahun 1960 dan menjadi salah satu haute couture di Perancis. Kejayaan itu tidak hanya sebatas pada pakaian saja, akan tetapi juga ke berbagai aksesoris fashion seperti parfum, sepatu, produk berbahan kulit hingga perhiasan.
Menjelang masa keemasannya, Laurent didampingi dua muse setianya, Loulou de la Falaise dan Betty Catroux, yang diperankan oleh Léa Seydoux dan Aymeline Valade. Ketiganya tidak hanya menjadi teman dekat yang sering mengunjungi berbagai macam pesta, tetapi juga mampu menginsiprasi Laurent dalam merancang pakaian.
Tentu sudah bukan berita asing lagi bila Laurent merupakan seorang homoseksual. Laurent ternyata sempat berhubungan dengan Jacques de Bascher, yang diperankan oleh Louis Garrel. Bascher yang sebelumnya merupakan kekasih dari Karl Lagerfeld, salah satu perancang busana asal Jerman.
Jadi, dimana the untold story ala-ala tagline film ini? Hmm… Bodello dan Bidegain mengemas kisahnya dengan beralur maju mundur yang agak sulit untuk diikuti bagi penonton awam. Saya cukup setuju bila ada yang berkata, “it’s a hard film.” True. Anda tidak akan mengerti ceritanya bila hanya menyaksikannya satu kali.
Penggarapan ini dikemas dengan sangat artistik, walaupun ujung ceritanya yang lebih berat ke personal issues and love story. Akan tetapi, penonton akan cukup diperlihatkan dengan behind the scene pembuatan pakaian mulai dari designing, fitting dummy, hingga runway tentunya. Salah satu yang menarik adalah montage rancangan Saint Laurent dari koleksi Autumn-Winter 1968 sampai 1970 yang dipadukan dengan peristiwa yang terjadi pada masa itu. Anaïs Romand, perancang busana film ini, cukup kreatif untuk menghidupkan kembali koleksi-koleksi klasik Laurent.
Dari jajaran para pemerannya, pemeran Laurent, Gaspard Ulliel, merupakan yang paling outstanding. Ulliel cukup berhasil menampilkan sosok Laurent yang alcoholic, halusinatif dan flamboyan. Salah satu yang cukup all-out mungkin ketika Ulliel berusaha menghadirkan homoseksualitas Laurent seperti beberapa kali hadir dengan full-frontal nudity di film ini, ataupun sensual pill kiss bersama Garrel. Karakter love interest Bascher yang diperankan Louis Garrel juga kembali hadir sangat memikat. Saya cukup teringat dengan penampilannya dalam “The Dreamer”-nya Bernardo Bertolucci berasama Eva Green dan Michael Pitt di tahun 2004 silam.
Dari sisi pendukungnya, Aymeline Valade yang memerankan Betty Catroux menjadi salah satu sorotan utama. Memerankan sosok yang merupakan mantan model Channel, lalu menjadi salah satu favorit Laurent, Valade menjadi salah satu tokoh yang tidak banyak dialog namun paling mencuri perhatian di film ini.
Bicara mengenai prestasi, film ini merupakan salah satu official selection in competition untuk Palme D’Or Cannes Film Festival 2014. Belum sampai disitu, film ini juga terpilih untuk mewakili Perancis sebagai Best Foreign Language Film di Academy Awards 2014, dan kandas untuk masuk ke lima besar. Tidak ketinggalan, film ini juga berhasil meraih satu César Awards untuk Best Costume Design dari sepuluh nominasi yang diterimanya, termasuk kategori Best Picture.
Mendaulat yang belum terceritakan membuat film ini dikemas begitu artistik, layaknya sebuah puisi, walaupun kadang terasa agak membosankan. Fashion dan proses kreatif didalamnya hanya segelintir dari ide utama ceritanya. This is Laurent’s world: his jet set life, his homosexuality, his affair, his dog, his muses, his illness, and his genuine genius for his democratize fashion.
