Nama Bessie Smith saat ini cukup tidak dikenal oleh anak-anak jaman sekarang, termasuk saya. Bessie yang punya julukan “The Empress of the Blues” sangat populer di era 20-30-an di Amerika. Tahun 1923, Ia memiliki 5 lagu yang berjejer di US Music Chart. Lewat “Bessie”, HBO Films, mengemas sebagian perjalanan hidup Bessie ketika Ia memulai awal kariernya.
Bessie Smith, yang diperankan oleh Queen Latifah, adalah seorang penyanyi muda yang berasal dari Chattanooga, Tennessee. Ia bersama saudaranya, Clarence, bekerja untuk tampil di pertunjukan lokal. Akan tetapi perlakuan ‘bag test’ pada para penampil kala itu membuatnya cukup frustasi. Bag test sendiri merupakan cara produser untuk membandingkan warna kulit performer mereka dengan kertas karton coklat. Bessie yang punya kulit lebih gelap merasa terganggu. Hasilnya, Ia memutuskan untuk nekat mendatangi The Mother of the Blues, Ma Rainey, yang diperankan oleh Mo’Nique.
Bersama Ma, Bessie belajar banyak hal. Ia juga menjadi featuring artist di setiap pertunjukan Ma. Kian lama, kepopuleran Bessie malah menjadi bumerang bagi Ma, hingga akhirnya Bessie memutuskan untuk menggelar turnya sendiri. Bersama Clarence, yang diperankan Tory Kittles, Ia kemudian bertemu dengan bodyguard yang kemudian menjadi suaminya, Jack Gee, yang diperankan oleh Michael K. Williams. Menjadi semakin terkenal ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Bessie mengalami banyak hal pahit serta kejatuhan yang membuat harus kembali bangkit dari keterpurukan.
Sudah bukan cerita lama bila Hollywood mulai kehabisan ide orisinil. Alhasil, mengangkat sekuel film-film yang sudah menguntungkan secara finansial menjadi pilihan utama studio-studio besar. Namun, kalau bicara mengenai penghargaan prestigious seperti Oscar, Golden Globe or BAFTA, mengemas sebuah biopic menjadi pilihan yang perlu.
Film ini disutradarai oleh Dee Rees, yang sebelumnya sempat dikenal dengan debut featurenya, “Pariah.” Film ini diproduksi oleh HBO Films, yang sebelumnya juga sempat membuat biopic Liberace dalam “Behind the Candelabra.” Dengan set era yang berbeda, film ini cukup berhasil untuk menghidupkan masa yang hampir satu dekade sebelumnya. Penggarapan Rees cukup meyakinkan, apalagi berkat penyajian sinematografi Jeff Jur dengan shot-shot indahnya. Perlu diyakini, kisah Bessie dalam film ini memang tidak serupa aslinya. Ada beberapa dramatisasi tambahan dengan penyamaran tokoh-tokoh untuk kepentingan ceritanya. Jadi, jangan percayai seratus persen dengan ceritanya!
Queen Latifah yang berperan sebagai Bessie menghadirkan sebuah unbeatable lifetime performance. Saya sangat tidak menyangka dengan segala kehadiran Latifah yang cukup all out di segala penampilan, remake classic Bessie, termasuk banyaknya mature things. Perlu diingat, biopic ini bukanlah film segala umur. Ada banyak hal yang cukup kental, seperti kehidupan biseksual Bessie ataupun Ma, yang sudah cukup tercium dari bagian awal film ini.
Kekerasan, masalah rasis hingga periode depresi finansial mewarnai latar belakang ceritanya. Dibesarkan oleh seorang kakak perempuan yang cukup kasar, ternyata menjadikan Bessie sebagai wanita kulit hitam yang cukup keras, powerful, dan juga berani. Perlakuan yang tidak adil pada orang kulit hitam kala itu menjadi salah satu latar universal sepanjang ceritanya.
Saya merasa seksualitas Bessie menjadi salah satu poin ceritanya, seiring dengan kebebasan same-sex marriage di Amerika Serikat sekarang ini. Ada kutipan menarik ketika Lucille, yang diperankan Tika Sumpter, berniat untuk memutuskan hubungannya dengan Bessie setelah bertahun-tahun, “I can’t no more. I want a family. Like you. Showbiz life can’t last forever. I just want a normal life. Thank you.” Masa lalu menjelaskan bahwa keinginan membentuk sebuah keluarga merupakan hal natura yang membuat banyak orang penyuka sesama jenis untuk menjadi biseksual. Berbeda dengan masa kini, banyak pernikahan sesama jenis sudah mampu untuk meneruskan keturunannya dengan berbagai macam cara.
Selain itu, film ini kembali memperjelas penonton dengan istilah “hidup adalah bagai di roda yang berputar.” Ada kalanya kita berada di puncak, dan juga kadangkala kita dapat berada di dasar. Kehidupan Bessie yang cukup pahit membuatnya ke puncak ketenaran, namun kembali membuat terpuruk, dan Ia kembali bangkit.
Selain cerita ataupun sinematografinya, saya menyukai banyak hal dari film ini. Set dekorasi, kostum dan make up menjadi hal yang cukup essensial untuk sebuah period film, seperti yang dihadirkan film ini. Tidak ketinggalan, musik film ini yang digarap Rachel Portman cukup berhasil menghidupkan cerita, apalagi banyaknya nomor-nomor remake blues Bessie ataupun Ma, sebut saja “Down Hearted Blues” atau “See See Rider Blues.”
Sekali lagi, Mo’nique yang berperan sebagai Ma Rainey, kembali menunjukkan kualitas aktinya. Mo’Nique sebelumnya cukup fenomenal sebagai Ibu yang abusive dalam “Precious” di 2009 dan berhasil menggondol sebuah piala Oscar. Kali ini, Mo’Nique hadir sebagai middle-aged woman yang cukup flamboyan dan juga ternyata seorang Biseks seperti Bessie.
Satu hal yang saya sayangkan dengan film ini adalah alasan perilisannya yang hanya sebatas film televisi. Andai saja dirilis sebagai film bioskop, akting Mo’Nique ataupun Latifah patut mendapat sebuah nominasi Academy Awards, belum terhitung dengan bagian lain seperti cinematography, music, ataupun art direction. Alhasil, film ini berhasil menggondol 4 Primetime Emmy Awards, termasuk kategori Outstanding Television Movie. Walaupun kisahnya sebetulnya tidak terlalu mengena, penggarapan film ini sangat patut untuk dipuji.