Opening scene “Shelter” dikemas menarik dan berlanjut dengan lagu pembuka yang membuat penonton terbawa dengan pemandangan kota San Pedro, California. Film yang dikarang cerita sekaligus digarap Jonah Markowitz ini mengangkat topik kedewasaan dan pencarian jati diri pada karakter utamanya.
Zach, yang diperankan oleh Trevor Wright, adalah seorang pria yang memiliki bakat seni yang lumayan. Ia juga adalah seorang role model yang baik bagi keponakannya, Cody. Bagi Cody, Zach adalah ayahnya, karena selalu menjadi pendamping baginya kapan pun dan dimana pun. Ibu Cody, Jeanne, yang diperankan oleh Tina Holmes, terlalu sibuk memikirkan kehidupannya dengan pacarnya, Allen, karena sudah terlanjur berharap pada Zach untuk menjaga Cody.
Zach juga memiliki seorang pacar bernama Tori dan seorang sahabat kecil bernama Gabe. Hubungan Zach dan Tori semakin tak karuan, membuat mereka untuk putus dan hanya menjadi sekedar sahabat. Permasalahan dimulai ketika pertemuan reuni antara Zach dengan Shaun, kakak angkat Gabe, yang diperankan oleh Brad Rowe. Gabe dan Shaun adalah anak orang kaya, yang sangat berbeda dengan Zach. Namun terjadi sebuah keanehan, dimana Shaun ternyata adalah seorang gay. Kedekatan mereka berdua kemudian tercium oleh Jeanne, Gabe dan Tori, walaupun Zach berusaha untuk menutupinya. Zach berada dalam titik kebimbangannya, memulai untuk mencari jati diri yang sebenarnya, dan berusaha untuk merawat keponakannya, Cody.
Jonah Mankovitch, sutradara sekaligus penulis film ini berhasil mengemas film ini dengan baik. Kisahnya mengingatkan kembali saya dengan “Brokeback Mountain”, film buatan Ang Lee yang diperankan oleh mendiang Heath Ledger. Memang keduanya film ini punya cerita yang tidak saling berhubungan; yang satu adalah kisah cinta sepasang cowboy yang berakhir mengharukan dengan alur cerita yang panjang. Sedangkan ini tentang sepasang peselancar, yang satu diantara mereka masih kembali mempertanyakan jati dirinya.
Sebagai salah satu film independen sekaligus bertema drama LGBT, film ini dapat saya katakan sebagai salah satu yang terbaik. Sebetulnya, Trevor Wright cukup tampak biasa saja dalam memerankan karakter Zach dan masih banyak yang bisa dikembangkan dari karakternya bila ditinjau dari permasalahannya begitu rumit.
Jajaran pemain film ini mungkin tidak terlalu dikenal selain Brad Rowe, akan tetapi kisahnya dikemas dengan apik, sehingga saya tidak terlalu memikirkan kualitas akting para pemerannya. Jonah Markowitz hanya perlu untuk memperbaiki kualitas akting beberapa pemainnya yang memang masih terbilang kurang. Film ini juga tidak terlalu vulgar walaupun terdapat love scene Zach dan Shaun yang terbilang biasa saja.
Pengambilan gambar film ini cukup banyak menonjolkan pemandangan pantai California, permainan selancar aktor-aktornya, dan pengambilan secara tracking untuk adegan-adegan di dalam rumah. Cukup standar. Lagu pengiring dalam film ini juga lumayan, dan dikemas dengan tata suara standar film kelas Amerika. Kadang saya merasa film ini agak terkesan seperti menyaksikan film televisi, walaupun unggul dengan cerita yang berbobot di kelasnya.
Makna cerita dari film ini cukup tersampaikan ke penonton. Dari perspektif saya, film ini mau mengatakan bahwa kasih saya dapat datang dari siapa saja, tidak perlu untuk melihat keluar, dan lihat dari dalam. Seperti yang diajarkan Zach pada Jeannie, walaupun Jeannie adalah Ibu bagi Cody, namun Jeannie tidak mampu memberikan kasih sayang yang seutuhnya. Malahan, sosok Shaun yang dianggap “kotor” bagi Jeannie, mampu menjadi penyayang, penghibur sekaligus pemberi shelter bagi Cody dan Zach.
Film ini juga mau mengutarakan bahwa kita tidak boleh melihat seseorang melalui “status sosial” yang ia miliki, namun melihat seseorang dari tingkah laku, kebaikan serta ketulusan untuk menolong. Karena belum apa yang terlihat baik itu baik, dan yang terlihat buruk itu buruk. Sebab bisa saja, yang terlihat baik ternyata penuh dengan keburukan, dan yang terlihat buruk ternyata penuh dengan kebaikan.
Sebuah film yang patut untuk ditonton, bukan karena ke-independenan-nya atau temanya. Hanya berdurasi sekitar 97 menit, film ini mampu memberi sudut pandang baru tentang betapa pentingnya akan sebuah pilihan, terutama bila menyangkut sebuah jati diri.