Animasi yang bertemakan coming of age, “Kiki’s Delivery Service” merupakan salah satu yang cukup sukses secara finansial, namun tidak sefenomenal karya Miyazaki lainnya. Film ini mengisahkan perjalanan Kiki, perempuan berusia 13 tahun yang memulai kehidupannya secara mandiri sebagai seorang penyihir.
Alkisah, ketika seorang penyihir berusia 13 tahun dan pada malam full moon, Ia harus keluar rumah dan hidup mandiri. Kiki memiliki seorang Ibu yang juga penyihir, dan ayah yang manusia biasa. Kasarnya, kalau dalam versi Harry Potter, sebutan ini dikenal sebagai “half-blood.” Kembali lagi ke versi ceritanya, seorang penyihir pada kisahnya diidentikkan dengan pakaian serba hitam dan ditemani oleh kucing hitam. Kucing hitam Kiki diberi nama Jiji, dan Kiki sebetulnya kurang menyukai baju berwarna hitam. Akan tetapi, Ibunya selalu mengingatkan “It’s not important what colour your dress is. What matters is the heart inside it.”
Bagian awal film ini memperlihatkan bagaimana keantusiasan Kiki untuk memulai hidup independennya, yang tidak sejalan dengan ayah Kiki secara tidak langsung. Akan tetapi, Kiki tetap memulai kehidupannya ditemani Jiji dan sapu pemberian Ibunya. Mereka suatu saat berhenti di sebuah kota pelabuhan yang bernama Koriko, yang menjadi tempat tinggal pertama Kiki. Disana Kiki mencoba mencari kemampuannya, dan membuka jasa pengantaran barang sebagai pekerjaan pertamanya.
Film ini merupakan sebuah adaptasi dari novel tahun 1984 Eiko Kadono yang berjudul sama dan dalam bahasa Jepang disebut 魔女の宅急便. Lima tahun kemudian, Studio Ghibli memproduksi animasi ini dibawah arahan Hayao Miyazaki. Kemudian, pada tahun 1998, film ini kembali dirilis oleh Disney dengan English dub.
Setelah menyaksikan film ini, saya cukup memiliki ketertarikan dengan alur cerita yang maju dan pengembangan karakter dan kisah yang terus berkembang. Akan tetapi, saya merasa cerita film ini dikemas dengan puncak krisis yang tidak terlalu mencapai klimaksnya, sehinnga pola penceritaannya agak lebih landai. Juga, film ini ditutup dengan memberikan sebuah pertanyaan wajar yang sering dipertanyakan: Apa kelanjutannya? Saya agak merasa sedikit bercampur kesal ketika baru mulai mendapatkan esensi cerita ini disaat film ini berakhir.
Sepertinya film ini tidak memiliki kesan magis seperti film Miyazaki lainnya. Salah satu faktornya mungkin karena ini adalah sebuah adaptasi. Tentu, sebagai sebuah adaptasi, Miyazaki tidak dapat untuk bebas mengubah cerita tanpa seijin penulis aslinya. Alasan ini mungkin yang menjawab pertanyaan saya mengapa film ini tidak menghadirkan dunia imajinasi tinggi Miyazaki seperti biasanya. Alasan berikutnya mungkin karena Miyazaki di saat yang sama sedang terlalu fokus dengan penggarapan “My Neighbor Totoro.”
Bila dikaitkan dengan pada masa tersebut, sosok karakter perempuan dengan kekuatan spesial telah menjadi salah satu idola, karena sosok ini biasanya mampu memenuhi keinginan mereka. Sebut saja “Sailor Moon” ataupun “Minky Momo.” Berbeda dengan pengembangan karakter Kiki, yang walaupun seorang penyihir dengan kemampuan lebih, Ia tetap saja dapat kehilangan kekuatannya dan tetap harus mendapatkan segala sesuatunya dengan berusaha.
Yang juga menarik dari sosok Kiki adalah kemampuannya untuk menggunakan banyak hal yang tradisionil ketimbang modern. Misalnya, ketika Kiki membantu seorang nenek untuk memanggang kue pie dengan menggunakan oven kayu bakar. Saya juga sedikit menyukai bagaimana setiap proses decision making Kiki dalam setiap hambatan yang dilewati protagonis berhati emas ini. Nice!