Andrew Ender Wiggin hanyalah seorang anak pintar yang sering di bully. Ia terpilih karena kejeniusannya akan taktik dan strateginya akan kompleksitas untuk dipersiapkan menjadi pejuang bumi dari ancaman serangan alien yang dikenal dengan sebutan Formics. Sepanjang hampir 115 menit, penonton akan memasuki dunia permainan Ender.
Ender, yang diperankan oleh Asa Butterfield, merupakan salah satu anak yang terpilih. Namun, suatu saat usaha untuk membela diri dari ancaman bully-an rekan-rekannya membuat dirinya harus keluar dari sebuah cadet program, program dini yang memilih para calon pejuang sebelum mereka diterjunkan ke luar angkasa. Ternyata, tanpa sepengetahuannya, Ia sebetulnya telah di scout secara diam-diam oleh Colonel Hyrum Graff dan Major Gwen Anderson.
Dipanggilnya kembali Ender, tidak membawanya ke cadet program, melainkan menjadikannya sebagai launchie di sebuah Battle School yang berada di luar angkasa. Sifat Graff yang terlalu memperlihatkan perhatiannya lewat pujian pada Ender, menjadikan Ender sebagai sosok yang kurang disenangi oleh rekan-rekannya. Di sisi lain, Anderson, yang diperankan oleh Viola Davis, berusaha untuk menjangkau sisi dalam pemikiran Ender guna melihat kecakapan mentalitas dan emosionalnya.
Sekali lagi, Asa Butterfield kembali memperlihatkan sebuah penampilan yang patut diperhitungkan dan mencuri, apalagi setelah cukup memukau lewat “Hugo” dan “The Boy in the Striped Pyjamas.” Butterfield di usianya masih belia memberikan sebuah sinyal bahwa Ia menjadi salah satu next star on the next years, we’ll see…
Film ini cukup diramaikan oleh beberapa aktor aktris kawakan, ada Harisson Ford, Ben Kingsley, dan juga Viola Davis. On the other hand, selain Butterfield, ada beberapa aktor aktris cilik peraih nominasi Oscar, yaitu Hailee Steinfeld dan Abigail Breslin yang tampil sebagai karakter perempuan di sekeliling Ender. What I love from these people on these movie? Mereka memperlihatkan kombinasi yang sangat baik demi memfokuskan cerita yang menitikberatkan pada sosok Ender.
Film yang disutradarai dan dikarang naskah oleh Gavion Hood, benar-benar dipersiapkan dengan pengaturan plot yang matang, serta penyajian yang menarik layaknya “Tron: Legacy”, yang akan membuat anda terus menikmati kisahnya. Hood mengadaptasi sendiri ceritanya dari sebuah serial military science fiction jaman 80-an yang dikarang oleh Orson Scott Card. Keberhasilan untuk merealisasikan film ini pun menjadi sebuah keputusan yang menurut saya tidak perlu di sesali Card. Ini karena sejak keberhasilan serial novel ini, Card sempat menolak segala tawaran untuk memfilkannya di era 90-an. Dengan didukung dengan visualisasi yang sudah cukup canggih saat ini, “Ender’s Game” berhasil dikemas Hood lewat naskah yang dikemas kuat, alur yang menarik, dan penampilan para pemainnya yang cukup oke.
Walaupun film yang dirilis di tahun 2013 ini tidak berhasil secara finansial, karena budget yang lebih besar dari penerimaannya, I’m still expecting an another installment. “Ender’s Game” cukup berhasil untuk membuat saya sangat menikmati cerita lewat aksi dan karakter para pemainnya, dan menjadikannya sebagai salah satu favorit film saya untuk genre sci-fi.
Bicara tentang kutipan, film ini mengawali ceritanya dengan menampilkan quote dari karakter Ender, “In the moment when I truly understand my enemy, understand him well enough to defeat him, then in that very moment I also love him.” Kutipan ini memang akan menjadi salah satu anchor yang menggambarkan karakter Ender sendiri di sepanjang film. Salah satu adegan yang cukup favorable bagi saya dalam film ini adalah ketika dialog antara Ender dengan Colonel Graff seusai keberhasilan mereka. Graff menegur Ender seraya dengan keras sambil mengucapkan “We won! That’s all that matters.” Dengan perspektif yang berbeda, dengan mata berkaca-kaca dan dengan penyesalan Ia berkata, “No, they way we win matters.”