Table of Contents
🇮🇩 Bahasa Indonesia – Original
Memasuki periode Paskah lalu, rasanya cukup menarik, sebagai seorang Kristiani, ketika film berbau Kristen memasuki jaringan bioskop di Nusantara. Mengusung judul “The Last Supper,” seraya ingin dengan tegas menandakan bagaimana peristiwa penting ini sengaja dirilis di tengah periode yang sama. Demi memuaskan rasa penasaran saya, apakah film ini terasa meyakinkan seagung judulnya?
Yesus Kristus, diperankan oleh Jamie Ward, sudah dalam kondisi memiliki 12 murid utamanya, ditambah pengikut yang selalu menemani-Nya. Sebelum masuk ke inti ceritanya, “The Last Supper” membawa beberapa cerita dari Alkitab yang direka ulang kembali. Termasuk saat Yesus kembali ke Yerusalem, mendatangi Bait Suci yang dipenuhi oleh orang-orang yang malah mencari keuntungan di samping bangunan suci tersebut. Ia kemudian membuat penegasan sambil mengobrak-abrik perdagangan yang merusak kesucian rumah Bapa.
Seperti layaknya cerita umumnya, sosok antagonis justru menghadirkan sosok imam besar Kayafas, diperankan oleh James Faulkner, yang merasa kehadiran Yesus terasa kurang menyenangkan. Sejak itu, kisah lalu berlanjut ketika memasuki masa Passover. Perlu diketahui, dalam budaya Yahudi, Passover tidak memiliki makna sejatinya seperti umat Kristen merayakannya. Dalam tradisi Yahudi, ini adalah masa mengenang bagaimana Tuhan menyelamatkan bangsa mereka dari perbudakan ratusan tahun. Bagi para pemeluk agama Abrahamik, pasti meyakini Nabi Musa, yang membantu Israel keluar dari tanah Mesir dan mencari tanah perjanjian Allah Abraham.
Okay, tanpa perlu menjelaskan cerita berikutnya, tentu, “The Last Supper” merupakan reka ulang yang sudah tertulis dan dibaca oleh miliaran orang. Peran Alkitab sebagai dasar utama, sekaligus one of the best-selling books of all time, membuat khalayak ramai mampu mengkritisi dengan mudah segala yang terjadi dengan kisahnya. Bila mengingat kembali, hampir dua dekade lalu saat Mel Gibson merilis proyek ambisiusnya dalam “The Passion of the Christ,” rasanya terlalu jauh. Hingga kini, film tersebut masih sering dipakai umat Kristiani sebagai tontonan merayakan kembali kehidupan Yesus.
Kondisinya amat berbeda dengan “The Last Supper.” Film ini disutradarai oleh Mauro Borrelli, dan kemudian ia menulis naskahnya bersama John Collins. Dari penyajian cerita, dramatisasi yang dibangun terasa dangkal. Ia menyelipkan beberapa kisah dari Alkitab dalam upaya memperdalam dialog, yang sebetulnya mungkin tidak ada dalam kejadian sebenarnya. Alhasil, walaupun mungkin akan terkoneksi bagi para Kristiani, tetapi ini seperti alur cerita yang berbeda.
Selain itu, rasanya saya amat kurang setuju dengan penggambaran Yesus Kristus yang dihadirkan. Pada film ini, penegasan akan kemanusiaan Yesus amat terasa. Misalnya, ketika Ia memperlihatkan wajah yang tidak baik-baik saja di tengah perjamuan dengan murid-murid-Nya. Hal ini menandakan kerapuhan Yesus Kristus, yang saya rasa tidak terjadi dalam realita. Begitu pula ketika Ia yang seakan-akan meminta Yudas untuk melakukan hal jahat tersebut, yang seakan memberi pertanda Yesus telah memberi persetujuan bagi Yudas untuk membelot. Hal-hal ini terasa agak di luar jalur dan lumayan sesat menurut saya.
Sejujurnya, ini film yang paling mengecewakan pasca saya kembali menonton usai menyelesaikan film-film musim penghargaan tahun lalu. Penggambaran yang dihadirkan Jamie Ward juga terasa tak ada nyawa. Tak ada rasa karisma anak Bapa, yang bisa memicu sosok asli yang membuat banyak orang berani mati karena-Nya. Ini sungguh amat jauh.
Dari segi cerita, yang terasa cukup meyakinkan hanya ketika pergulatan Yudas dengan rayuan setan di baliknya. Karakter yang diperankan Robert Knepper ini malah memancing saya untuk berpikir, apa sebetulnya memang Yudas sengaja diatur untuk itu? Atau apa memang karena ia yang paling busuk hatinya dibanding murid yang lain? Entahlah. Mengingat cerita yang sudah keluar jalur, mungkin akan sulit untuk mengubah apa yang sudah saya yakini dan ketahui.
Secara penyajian, “The Last Supper” kurang meng-highlight perjamuan kudus terakhir tersebut. Tidak ada rasa sakral layaknya kita menyaksikan lukisan Leonardo da Vinci, ataupun penggambaran yang dihadirkan oleh film-film bertema Yesus sebelumnya. Di sini, saya justru lebih tertarik dengan kisah Yudas. Mungkin, seharusnya judulnya juga diganti.
Saya juga tadinya mengira jika film ini akan bercerita panjang. Ternyata fokus film ini hanya pada detik-detik perjamuan terakhir dan langsung lompat pada kebangkitan Yesus. Rasanya, bagian penyiksaan menuju Bukit Golgota terasa sengaja dibuang. Padahal, bagian ini yang saya rasa jadi bab yang tidak boleh dilewatkan.
Alhasil, “The Last Supper” terasa jadi film gagal yang menggambarkan kisah Yesus. Film ini terasa begitu datar dengan dialognya, dan jangan berharap sesuatu yang berlebihan. Saya awalnya mengira jika peristiwa penyaliban Yesus juga akan disertakan, ternyata tidak. Rasanya, masih lebih baik kisah Yesus muda dalam “The Young Messiah,” yang sebetulnya juga jelek dan tidak sesukses “The Passion of the Christ” maupun “King of Kings.” Seharusnya, apa yang dihadirkan bisa sedikit tepat, tapi “The Last Supper” malah terasa terlalu jauh dari yang diharapkan. Kesakralan yang dihadirkan jadi terlalu keluar jalur. So disappointing.
🇬🇧 English Version – Translated
Entering the Easter period last time, it felt quite interesting, as a Christian, when a Christian-themed film entered cinema networks in the archipelago. Carrying the title “The Last Supper,” wanting to firmly indicate how this important event was deliberately released during the same period. To satisfy my curiosity, does this film feel as convincing and grand as its title?
Jesus Christ, played by Jamie Ward, is already in a condition of having his 12 main disciples, plus followers who always accompany Him. Before entering the core of the story, “The Last Supper” brings several stories from the Bible that are recreated. Including when Jesus returned to Jerusalem, visiting the Temple filled with people who instead sought profit beside that sacred building. He then made an assertion while overturning the trade that damaged the sanctity of the Father’s house.
Like most stories, the antagonist figure actually presents the figure of high priest Caiaphas, played by James Faulkner, who feels Jesus’s presence is rather unpleasant. Since then, the story continues when entering the Passover period. It should be noted that in Jewish culture, Passover does not have the meaning as Christians celebrate it. In Jewish tradition, this is a time to remember how God saved their nation from hundreds of years of slavery. For followers of Abrahamic religions, they surely believe in Prophet Moses, who helped Israel leave the land of Egypt and seek the promised land of Abraham’s God.
Okay, without needing to explain the next story, of course, “The Last Supper” is a recreation that has been written and read by billions of people. The Bible’s role as the main foundation, as well as one of the best-selling books of all time, allows large audiences to easily criticize everything that happens with its story. When remembering back, almost two decades ago when Mel Gibson released his ambitious project in “The Passion of the Christ,” it feels too far. Until now, that film is still often used by Christians as a viewing to celebrate Jesus’s life again.
The condition is very different with “The Last Supper.” This film is directed by Mauro Borrelli, and then he wrote the script with John Collins. From the story presentation, the dramatization built feels shallow. He inserts several stories from the Bible in an effort to deepen dialogue, which actually may not exist in the actual event. As a result, although it may connect for Christians, this is like a different storyline.
Besides that, I strongly disagree with the portrayal of Jesus Christ presented. In this film, the emphasis on Jesus’s humanity is very felt. For example, when He shows a face that is not okay in the middle of the feast with His disciples. This indicates the fragility of Jesus Christ, which I feel did not happen in reality. Likewise when He seemingly asks Judas to do that evil thing, which seems to indicate Jesus has given approval for Judas to betray. These things feel somewhat off-track and quite heretical in my opinion.
Honestly, this is the most disappointing film after I returned to watching after finishing last year’s awards season films. The portrayal presented by Jamie Ward also feels lifeless. There’s no sense of the Father’s son’s charisma, which could trigger the real figure that made many people dare to die for Him. This is truly very far off.
In terms of story, what feels quite convincing is only when Judas struggles with the devil’s temptation behind him. The character played by Robert Knepper instead provokes me to think, was Judas actually deliberately arranged for that? Or is it because he had the most rotten heart compared to other disciples? Who knows. Considering the story has gone off-track, it might be difficult to change what I already believe and know.
In terms of presentation, “The Last Supper” lacks highlighting that last holy supper. There’s no sacred feeling like when we watch Leonardo da Vinci’s painting, or the portrayal presented by previous Jesus-themed films. Here, I’m actually more interested in Judas’s story. Perhaps, the title should also be changed.
I also initially thought this film would tell a long story. It turns out the focus of this film is only on the moments of the last supper and jumps directly to Jesus’s resurrection. It feels like the torture section towards Golgotha Hill was deliberately discarded. Yet, this part I feel is a chapter that should not be missed.
As a result, “The Last Supper” feels like a failed film depicting Jesus’s story. This film feels so flat with its dialogue, and don’t expect anything excessive. I initially thought if Jesus’s crucifixion event would also be included, it turns out not. It feels like the story of young Jesus in “The Young Messiah“ is still better, which actually is also bad and not as successful as “The Passion of the Christ” or “King of Kings.” It should be that what’s presented could be somewhat accurate, but “The Last Supper” instead feels too far from what’s expected. The sanctity presented becomes too off-track. So disappointing.
