Pada musim penghargaan kemarin, ada salah satu film produksi Singapura dan Tiongkok yang sempat tidak saya tonton. Film tersebut adalah “The Breaking Ice,” yang juga terpilih menjadi perwakilan Singapura untuk di ajang Academy Awards. Film ini akan mengisahkan tiga orang muda dari Tiongkok yang membutuhkan pencerahan akan kehidupan mereka.
Film diawali dengan setting kota Yanji, salah satu kota perbatasan di Tiongkok yang mendekati Korea Utara. Disana, ada seorang pemuda bernama Haofeng, diperankan oleh Haoran Liu, yang sengaja terbang jauh-jauh dari Beijing demi menghadiri undangan perayaan pernikahan teman lama. Yang bikin menarik, Yanji merupakan bagian dari Yanbian, sebuah prefektur otonomi yang banyak dihuni oleh Chaoxianzu, yang merupakan sebuah bagi orang keturunan Korea yang tinggal di China. Tak heran, acara pernikahan pun dihadirkan dalam multibahasa, Mandarin dan Korea.
Ketertarikan saya akan “The Breaking Ice” dimulai semenjak Haofeng menerima telepon dari Pusat Gangguan Mental yang sengaja menghubunginya untuk penggantian sesi. Karakter ini secara implisit jikalau Ia tidak baik-baik saja. Apalagi ketika Ia berada di ujung tangga darurat dan seraya ingin menjatuhkan dirinya. Untungnya, batal.
Ia kemudian memutuskan untuk mengikuti tur harian yang dipimpin oleh seorang perempuan cantik bernama Nana, diperankan Zhou Dongyu. Dalam tur tersebut, sosok Haofeng yang dingin juga ternyata seakan sefrekuensi dengan Nana yang terus berusaha profesional. Masalah dimulai ketika Haofeng kehilangan telepon genggamnya. Demi menjaga reputasi Nana, Ia meminta tolong Haofeng untuk tidak melaporkan insiden tersebut sekaligus mengajaknya untuk ikut bertemu di malam harinya.
Malam harinya, Nana ternyata memperkenalkan Han Xiao, diperankan oleh Qu Chuxiao, yang mengira jika Ia hanya akan makan malam berdua dengan Nana. Ketiganya pun menikmati malam, sampai akhirnya sadar jika semuanya berada dalam frekuensi yang sama. Haofeng pun tak akan menyangka jika Ia malah akan diajak berkeliling menikmati indahnya Yanji bersama dua orang asing yang kini jadi temannya.
“The Breaking Ice” merupakan film kedua yang dirilis pada tahun 2024 oleh sutradara asal Singapura, Anthony Chen. Ia juga merilis film “Drift” yang merupakan debut film berbahasa Inggrisnya. Balik ngomongin film ini, “The Breaking Ice” sendiri dirilis di Cannes International Film Festival, dan terpilih untuk masuk dalam kompetisi Uncertain Regard. Di dunia festival sendiri, nama Chen sudah tidak asing. Karyanya seperti “Ilo Ilo” berhasil memenangkan Camera D’Or di Cannes, dan “Wet Season” yang dirilis di Toronto International Film Festival. Yang bikin amat menarik, kesemua film ini terpilih menjadi perwakilan Singapura di Academy Awards, walaupun sayangnya belum ada yang bisa menembus lima besar. Sayang, “The Breaking Ice” tidak mampu menawan layaknya “Perfect Days” pada musim penghargaan tahun ini.
Secara setting, “The Breaking Ice” memang tidak berbasis di Singapura. Film ini akan lebih jauh masuk ke dalam kehidupan orang muda di Tiongkok. Yang bikin menarik adalah ketika film ini menyorot potret kelompok minoritas Chaoxianzu, yang membuat film tak hanya berbahasa Mandarin saja. Momen yang saya rasa paling mengena adalah bagaimana lagu nasional Korea ‘Arirang’ dinyanyikan dengan begitu tersedu-sedu, yang seraya menutup kisah ini dengan sedih.
Secara penyajian, “The Breaking Ice” hadir dengan kualitas yang amat memukau. Saya menyukai bagaimana Chen membangun realitas dengan begitu natural. Misalnya saja, ketika perayaan pernikahan yang menggunakan banyak extras, namun kita tak akan menyadari ini adalah suatu buatan. Salah satu yang terlihat ketika salah satu pengunjung yang ceritanya sepatunya nyangkut saat mau hendak menari bersama.
Tak hanya itu, keindahan Yanbian yang dihadirkan patut diacungi jempol. Anthony Chen tak hanya akan membawa kita akan keindahan alam saja, tetapi termasuk kehidupan malam kota Yanji yang tak terlihat. Bagian favorit saya adalah saat ketiga karakter yang ingin menemukan ‘Heaven Lake,’ dan malah bertemu dengan sosok yang mereka tidak pernah duga.
Dari sisi cerita, film yang berdurasi 97 menit ini tahu betul bagaimana membangun cerita yang menarik. Ketiga karakter utama punya masalah masing-masing yang dihadirkan film ini secara implisit. Haofeng yang digambarkan sebagai seorang karyawan perusahaan finansial tetapi punya masalah kejiwaan. Begitupula Nana, yang ternyata mantan atlet yang melarikan diri dari kehidupannya. Ataupun juga Han Xiao, yang masih belum bisa membaca namun menjalani hidup sebisanya.
“The Breaking Ice” terasa menjadi suatu tontonan yang begitu spesial. Film ini tidak ada upaya untuk mengkritik pihak manapun. Film ini akan lebih banyak menyentil bagaimana ketiga karakter yang punya masalah ini ternyata bisa berbaur ketika mereka sadar jika mereka dalam frekuensi yang sama. Hal ini seraya mengingatkan saya jikalau ketika karakter ini layaknya introvert-introvert yang berulah ketika mereka sama-sama nyaman.
Padahal, jika bicara film-film dengan karakter tiga orang dengan kombinasi seperti ini, mengingatkan saya dengan official selection Cannes Film Festival berjudul “The Dreamers” yang disutradarai oleh Bernardo Bertolucci. Membandingkan keduanya, film yang terdahulu bicara ketiga orang yang mencari kehidupan dengan bermimpi dan mengkhayal, sedangkan ketiga yang ini terasa sama dengan versi Asia, walaupun ditutup dengan resolusi yang berbeda. Kini, bila ditanya film yang menghadirkan tiga karakter, yang menjadi top of mind saya tentu “The Breaking Ice.” Tontonan yang mampu menyihir saya sampai akhir. Absolutely stunning!