Melihat situasi dunia yang kini tidak baik-baik saja, ketika Anda mungkin membaca berita tentang perang Rusia-Ukraina maupun Israel-Palestina, pernahkah Anda terpikir akan mereka yang menyajikan berita tersebut. Kali ini, A24 menyajikan “Civil War,” yang menawarkan kisah para jurnalis perang di medan perang sipil Amerika.
“Civil War” memulai kisahnya dengan menghadirkan sosok Presiden Amerika Serikat, diperankan Nick Offerman, yang pemerintahannya menuai kontroversi. Gejala ini disertai dengan kekerasan yang terjadi di kota besar, yang sambil memperkenalkan penonton dengan sosok Lee, seorang jurnalis perang legendaris yang diperankan oleh Kirsten Dunst.
Pergolakan yang tengah terjadi ini membuat Lee dan rombongannya, terdiri dari Joel dan Sammy, diperankan oleh Wagner Moura dan Stephen McKinley Henderson, melangsungkan peliputan berita. Lee pun punya rencana sendiri, Ia meminta rekan-rekannya untuk mengunjungi D.C., demi mencari sang presiden. Walaupun dianggap sebagai rencana bunuh diri, ketiganya kemudian ditemani sosok Jessie, diperankan oleh Cailee Spaeny, yang ceritanya ada seorang reporter perang wanna be.
Bila mencoba memaknai judulnya, “Civil War” mungkin akan terasa seperti film superhero ataupun mungkin film perang pada umumnya. Begitupula dengan upaya menegangkan yang hadir dalam trailer-nya. Film ini seakan menjanjikan saya sebuah tontonan layaknya film-film kiamat bak “Independence Day” ataupun “End of Days.” Tanpa disangka, subjek utama dalam cerita ini malah menghadirkan kisah para pencari berita.
Alex Garland, sutradara yang telah dikenal melalui “Ex Machina,” menulis dan menyutradarai film ini. Secara struktur cerita, “Civil War” dapat dianalogikan seperti ketika Anda menyaksikan saudara anda sedang bermain game console perang. Posisi media yang cenderung netral di medan perang, membuat mereka bisa bermain mudah untuk bersama-sama dengan setiap pihak. Di kala para pihak berseteru adu menembak, mereka justru sedang siap-siap mencari shot terbaik mereka.
Kembali membahas ceritanya. “Civil War” terasa amat buang-buang waktu. Yang ditawarkan ke penonton sebetulnya bukanlah sebuah plot cerita yang jelas, namun menawarkan suguhan pengalaman menonton yang realis. Sayangnya, ketika tak ada cerita yang jelas, malah membuat film ini bak makanan yang sudah dikemas manis, namun hambar tanpa rasa.
Dari segi penampilan, karakter yang paling menyebalkan dalam film ini adalah Jessie. Berhasil membuat menyebalkan juga mengartikan bila Cailee Spaeny berhasil memerankan sosok Jessie. Aktris muda yang saya ketahui dalam “Priscilla” ini menghadirkan sosok Jessie yang tidak perhitungan, terlalu newbie, yang sering membawa bencana untuk rombongan. Tapi jika dipikir-pikir, tanpa Jessie, “Civil War” akan jadi tontonan dengan cerita yang semakin tidak jelas.
Walaupun terasa kurang saya rekomendasikan, secara penyajian, “Civil War” sepatutnya harus dapat pujian. Pengaturan setting, sampai tata sinematografi yang digawangi Rob Hardy, merupakan beberapa kekuatan dari film ini. Hardy akan membawa penonton ke dalam pengalaman yang mengerikan, lewat serangkaian aksi-aksi kejahatan yang terjadi dalam perang. Malang, penyajian sinematografi yang amat apik ini cuma berakhir jadi hiasan di dalam suatu hidangan.
Pada akhirnya, “Civil War” berhasil menipu saya. Tontonan ini tak ada cerita seru yang benar-benar membuat menghibur. Trailer film ini justru lebih bagus dari versi panjangnya. Film berdurasi 109 menit ini terasa membosankan dan juga membuat waktu. Andai saja ada cerita dalam film ini, mungkin saja shot-shot indah yang disajikan film ini akan terasa lebih dihargai, daripada dianggap jadi sekedar pelengkap dari versi interpretasi saya.