Sosok Suzanna yang di cap sebagai ‘Ratu Film Horror Indonesia’ memang patut diakui. Soraya Intercine Film kembali ingin menghidupkan karakter Suzzanna dengan mendaur ulang beberapa klasik yang kini telah menjadi horror masterpiece di Indonesia. Pilihan pertama mereka, adalah “Bernapas dalam kubur” yang berasal dari film berjudul sama dari tahun 1972.
Cerita film ini menghadirkan sosok Suzzanna, diperankan oleh Luna Maya, yang merupakan istri seorang pemilik pabrik. Suaminya, Satria, yang diperankan oleh Herjunot Ali, cukup sibuk di pabrik, terutama dalam mengurus para buruh yang kerapkali meminta kenaikan gaji. Situasinya ditambah runyam ketika Satria jarang di rumah. Suzzanna juga tengah hamil, namun Ia tidak sendirian. Ia dibantu oleh asistennya yang bernama Mia, Tohir dan Pak Rojali.
Masalah dimulai ketika adanya upaya untuk melakukan pencurian yang dilakukan para buruh pabrik. Salah satunya adalah Jonal, diperankan oleh Verdi Solaiman. Ia bersama Umar, Gino, dan Dudun berniat untuk merampok rumah Satria. Umar, yang diperankan oleh T. Rifnu Wikana, mengingatkan dari awal untuk tidak menyakiti Suzzanna. Mereka hanya cukup merampok apa yang bisa diambil. Apa dikata, takdir berkata lain. Pencurian tersebut ikut merenggut nyawa Suzzanna dan bayi yang tengah dikandungnya.
Sedari awal, begitu banyak ekspektasi yang saya harapkan dalam menyaksikan versi remake ini. Betul saja, sedari sosok Suzzanna masuk dalam layar, Luna Maya sudah seakan memukau untuk menghidupkan sang ratu horror. Bagian paling khas adalah makeup, yang semakin dipertegas dengan dialek Maya yang seakan layaknya noni Belanda. Alhasil, sosok Suzzanna yang ditawarkan oleh film ini menang patut diperhitungkan.
Bicara dari ceritanya, film yang berdurasi lebih dari dua jam ini terasa lumayan menghibur. Saya menyukai cara horror bekerja dalam film ini, yaitu dengan menakuti targetnya, dan memainkan pikirannya sehingga mereka terbunuh. Cara ini juga diterapkan dalam “It.” Menurut saya, agak aneh ketika yang tidak terlihat bisa membunuh yang terlihat, seperti yang kerap ditawarkan horror lainnya. Disini, penawaran permainan psikis kepada targetnya memberikan keseruan dan ketegangan tersendiri.
Film ini ditulis oleh Bene Dino Rajagukguk, yang kemudian lebih dikenal dengan “Ngeri-Ngeri Sedap.” Disini, Ia menulis bersama Ferry Lesmana dan Sunil Soraya. Film kemudian diarahkan oleh Rocky Soraya dan Anggy Umbara. Secara penyajian, upaya menghidupkan kesan 80-an amat patut diapresiasi. Misalnya ketika hadir mobil dengan plat lama, kehadiran President Taksi, ataupun atraksi layar tancap yang kini amat jarang ditemui. Setting produksi film ini amat patut diapresiasi, terutama bagaimana set rumah Suzzanna juga dikemas, yang membawa kita ke dalam masa lampau.
Pengalaman menonton yang luar biasa. Mungkin ketika anak kekinian cenderung tidak mau untuk menyaksikan aslinya, “Suzzanna: Bernapas dalam kubur” dapat menjadi tontonan yang ditawarkan. Saya sendiri cukup menyukai bagaimana aksi seram yang dihadirkan. Walaupun terasa bukan sebagai sesuatu yang baru, namun amat memikat untuk diikuti. Misalnya saja ketika adegan menakuti karakter Dudun, ataupun ketika tewasnya Gino.
Sosok sundel bolong yang hadir ke dalam film ini memang akan cukup meneror. Walaupun bila diamati dengan seksama, detil-detil bolongan pada sosok sundel bolong kerap tidak konsisten. Namun, sajian khas dengan matap gelap dan rambut panjang Suzzanna yang menggunakan baju tidur panjangnya sudah akan lumayan meneror, sebetulnya.
Untuk ukuran sebuah remake, “Suzzanna: Bernapas dalam kubur” dapat hadir sesuai ekspektasi saya. Penggambaran dengan cara yang baru, namun tetap memasukkan elemen komedi selayak versi klasiknya, tetap akan meneror penonton. Saya pun tentu akan melanjutkan seri remake Suzzanna berikutnya, yaitu “Suzzanna: Malam Jumat Kliwon.” Penyajian versi modern ini memang tidak akan sekultus versi aslinya, tapi ini amat patut diapresiasi. A very good remake!