Cerita-cerita kriminal detektif Hercule Poirot selama beberapa tahun terakhir terbilang laris manis di pasaran. Sebut saja “Murder on the Orient Express” dan “Death on the Nile” yang banyak bertabur bintang. Untuk ketiga kalinya, Kenneth Branagh akan membawa penonton dalam kisah di kota bertopeng Venice melalui “A Haunting in Venice.”
Cerita “A Haunting in Venice” diambil dari seri ke-41 Hercule Poirot karangan Agatha Christie. Dikisahkan Hercule Poirot, yang diperankan oleh Kenneth Branagh, telah menikmati masa pensiunnya. Ia juga sudah punya seorang bodyguard yang merupakan mantan polisi bernama Vitale Portfoglio, diperankan oleh Riccardo Scamarcio. Suatu hari, datanglah seorang penulis kisah misteri bernama Ariadne Oliver, diperankan oleh Tina Fey, mengunjungi Poirot.
Oliver mengajak Poirot untuk menghadiri suatu pesta Halloween yang diadakan di sebuah rumah besar milik Rowena Drake, yang diperankan oleh Kelly Reilly. Oliver pun berhasil dan mempertemukan dirinya dengan Joyce Reynolds, diperankan oleh Michelle Yeoh, seorang penipu yang berpura-pura sebagai paranormal. Singkat cerita, Poirot pun berkenalan dengan mitos “Children’s Vendetta,” yang konon merenggut Rowena yang diperankan oleh Alice Drake. Reynolds pun sengaja diundang guna untuk menjadi medium dalam memanggil Alice. Cerita pun berlanjut ketika Alice ternyata merupakan korban pembunuhan. Poirot yang ada di lokasi kejadian, seperti biasa, memulai investigasi dengan karakter-karakter di sekitarnya.
Kenneth Branagh sepertinya cukup menikmati perannya sebagai Poirot sekaligus sutradara di beberapa remake film Agatha Christie. Awalnya, saya akan mengira jika Ia akan mengambil judul yang lain, mengingat kedua film sebelumnya berasal dari nomor seri yang cukup jauh dengan “Hallowe’en Party,” judul asli ceritanya. Ceritanya pun juga diadaptasi kembali oleh Michael Green, yang juga mengapdatasi dua seri sebelumnya dan juga menulis “Logan.”
Dari penyajiannya, “A Haunting in Venice” sedari trailer-nya sudah memberikan kesan horror yang sepertinya cukup mencekam. Seiring menyaksikan filmnya, ternyata tidak sehorror yang saya bayangkan. Kesan horror tercipta dari bagaimana penyajian setting di kota Venice yang merupakan salah satu kota tua di Italia, yang amat dikenal dengan kanal dan perahunya. Periode yang merujuk pada perayaan Halloween juga menambah rasa seram, seiring dengan penggunaan topeng, seperti yang digunakan karakter Joyce Reynolds, yang membangun karakternya lebih misterius.
Secara plot, “A Haunting in Venice” sama seperti film-film sebelumnya. Penonton akan menikmati perjalanan Poirot yang selalu memandang kasus-kasusnya dalam sudut pandang orang ketiga. Penonton pun mulai akan menebak sang pelaku, seiring dengan permainan dialog yang biasanya memberikan celah bagi setiap karakter di sekitarnya untuk dicurigai. Yang sedikit saya sayangkan, ada banyak hal-hal yang tak terlalu diceritakan, yang kemudian menjadi bukti Poirot memecahkan misterinya. Hal ini membuat penonton yang sama-sama mengikuti karakter Poirot dan mempelajari sekitarnya tetap tak akan mampu berpikir sama dengan sang detektif.
Dari segi penampilan, “A Haunting in Venice” hadir dengan cukup lumayan. Ensemble cast film ini juga terbilang menghadirkan Michelle Yeoh, yang baru-baru saja memenangkan Oscar melalui “Everything Everywhere All at Once.” Disini, perhatian saya cukup terfokus pada dua karakter. Pertama, Ariadne Oliver. Saya menyukai kehadiran Tina Fey yang terlihat kritis dan cerdik, terutama ketika Ia menutup motifnya. Kedua, penampilan aktor cilik Jude Hill sebagai Leopold Ferrier. Hill yang pernah berkolaborasi dengan Branagh dalam “Belfast” ini hadir sangat memukau sebagai karakternya yang amat intelek, ketimbang karakter-karakter yang lain. Bersiap juga dengan kejutannya.
Aspek lain yang cukup unggul dari “A Haunting in Venice” adalah original score dari Hildur Guðnadóttir, composer “Joker” dan “Tar,” yang menghadirkan serangkaian melodi indah nan megah pelengkap ceritanya. Aspek lain yang saya sukai dari film ini adalah sinematografi dari Haris Zambarloukos, yang juga beberapa kali berkolaborasi dengan Brannagh. Saya menyukai penyajian shot dengan point of view tajamnya yang membuat film ini terasa makin kelam.
Jujur, saya jauh menyukai “A Haunting in Venice” ketimbang “Murder on the Orient Express.” Bila Brannagh pun masih akan berniat mengadaptasi kisah Agatha Christie lainnya, saya pun masih akan menantikannya. Sayang saja, “A Haunting in Venice” terasa sedikit underrated, padahal film ini dieksekusi dengan cukup baik, walaupun sebetulnya tidak seseram versi trailer-nya.