Dalam sebuah studi, kesendirian mampu meningkatkan tingkat kematian sebesar 26%. Tak sampai disitu, seorang individu juga akan cenderung lebih dingin. Ketika seseorang melakukan isolasi, secara tidak langsung kita akan mengaktifkan bagian dalam otak yang mengatur kesakitan fisik. Diangkat dari sebuah novel Jepang, tema kesendirian dikemas oleh Andrew Haigh menurut interpretasinya dalam “All of Us Strangers.”
Sosok utama film ini bernama Adam, diperankan oleh Andrew Scott, yang berusia sekitaran 30-an. Ia hidup sendiri, tak punya teman, dan merupakan seorang penulis. Di suatu malam, tiba-tiba rumahnya kedatangan sosok tak dikenal. Sosok ini kemudian memperkenalkan diri. Ia bernama Harry, diperankan oleh Paul Mescal. Dari awal, Harry cukup agresif. Ia pun menawarkan diri untuk menemani Adam. Sayang, upaya ini hanya membangun penolakan untuknya.
Singkat cerita, Adam mengunjungi kembali rumah tempat Ia tinggal. Ia mengingat kembali ketika masih hidup bersama Ayah dan Ibunya. Kecelakaan naas yang menimpa kedua orangtuanya 30 tahun lalu, malah membuatnya hidup serba sendiri. Suatu kejutan ketika suatu saat Ia bertemu kembali dengan orangtuanya. Ayah dan Ibu, yang diperankan oleh Jamie Bell dan Claire Foy ini, mengenali putra satu-satunya. Alhasil, Adam sering mengunjungi kedua orangtuanya untuk melepas rasa kangen.
Sebetulnya Adam sudah berada dalam situasi yang aneh. Ia mencari kenyataan dari kondisi menikmati kedekatan dengan kedua orangtuanya. Menariknya, orangtuanya pun tak menyangka bila Adam sudah tumbuh besar, jauh dari apa yang mereka saksikan dulu. Di sisi lain, Adam pun akhirnya terjebak dengan agresifnya Harry. Sampai akhirnya Ia terbuai dengan nikmatnya fantasi.
“All of Us Strangers” merupakan sebuah adaptasi yang ditulis Andrew Haigh dari sebuah novel Jepang karangan Taichi Yamada. Haigh sendiri sudah kaya kenal dari dua karya terdahulunya, “45 Years” dan “Weekend,” dua karya yang sama-sama ditulis dan disutradarainya. Kali ini, melalui intepretasinya, Ia mengemas cerita Yamada dengan embel LGBT dari pengemasan karakter Adam dan kisah cinta pendeknya. Dari segi sajian romansa, Haigh kembali menawarkan suasana penuh intim dari keduanya, seperti yang Ia pernah bawa dalam “Weekend.”
Membahas tema kesepian, saya teringat dengan karya Royston Tan dalam “4:30,” ketika ada dua karakter yang satu pendiam mengisolasi layaknya Adam, dan satu lagi yang berperan menjadi pemantik seperti Harry. “All of Us Strangers” sendiri memiliki adegan yang cukup banyak, yang mungkin akan sulit ditonton untuk segala pihak. Terlepas dari itu, sebetulnya “All of Us Stranger” tidak akan terlalu membahas tentang cinta keduanya, tetapi lebih ke dalam kehidupan Adam.
Film yang berdurasi 105 menit ini punya penyajian yang mengesankan. Saya menikmati cara Andrew Haigh dalam membangun emosi dan ambience dari setiap adegannya. Yang paling khas adalah adegan dalam kamar tidur. Ia menggunakan sinaran lampu jingga yang membaur dengan latar fantasi-futuristik yang bermandikan kesan biru. Suasana gelap, namun hangat menyala.
Dari sisi penampilan, Andrew Scott dan Paul Mescal terbilang cukup apik dalam memerankan kedua karakternya. Sayang saja, saya lebih menyukai cara Mescal memerankan sosok ayah yang depresif dalam “Aftersun” ketimbang disini. Karakter Mescal terasa terlalu baik, dalam arti sok mau menerima karakter utama, tanpa embel-embel yang jelas. Di sisi lain, Andrew Scott cukup bermain dengan karakter penuh emosi, apalagi ketika karakter Adam mengingat masa lalunya. Dari sisi pendukung, walaupun sebetulnya tak terdiri dari banyak pemain, penampilan Claire Foy dan Jamie Bell juga lumayan meyakinkan.
Ketika menyaksikan “All of Us Strangers,” pemikiran saya cukup dipancing sana-sini, terutama saat ingin mengetahui situasi yang sebenarnya terjadi. Apalagi dengan paduan realita dan fantasi yang beda tipis, sehingga membuat penonton mungkin tertipu. Sampai-sampai saya pun berpikir apakah Adam juga sebetulnya sudah tidak di dunia, tapi terbantahkan ketika Ia menerima pesanan 3 minuman di sebuah restoran.
Walaupun cukup memancing rasa penasaran saya, “All of Us Strangers” terasa hanya seperti sajian yang menarik. Berhubung ekspektasi saya yang terlalu besar, saya kurang menemukan faktor X yang membuatnya terasa memorable. Dalam musim penghargaan tahun ini, saya mungkin akan menjagokan film ini untuk kategori Best Adapted Screenplay. Sekali lagi, “All of Us Strangers” terbilang sebagai suatu interpretasi adaptasi yang menarik akan kesendirian, keluarga dan cinta, namun sayang kurang menendang tajam.