Sudah bukan hal yang asing lagi ketika mainan atau hal-hal yang terasa lucu, berhasil disulap menjadi hal yang mengerikan. Sebut saja boneka pembunuh dalam franchise “Child’s Play” ataupun “Annabelle.” Kali ini, Universal Studios menghadirkan “Five Nights at Freddy’s,” yang akan menyuguhkan tayangan horor dari robot-robot animatronic 80-an.
Cerita film ini dimulai dengan aksi seorang penjaga sebuah pizzeria bernama Freddy Fazbear’s Pizza yang berupaya menyelamatkan diri. Penjaga ini, yang ceritanya seorang diri, sedang berupaya untuk lolos dari kejaran robot-robot penghuni tempat itu. Malang, Ia gagal untuk dapat keluar dari tempat itu.
Singkat cerita, penonton kemudian diperkenalkan dengan sosok Mike, diperankan oleh Josh Hutcherson, seorang petugas keamanan yang baru saja salah bertindak saat sedang bekerja. Alhasil, Ia dikeluarkan dari pekerjaannya. Masalah hidupnya juga semakin dipersulit ketika sang tante, Jane, yang diperankan oleh Mary Stuart Masterson, tengah berusaha untuk mendapatkan kustodi atas adik perempuan Mike yang bernama Abby, yang diperankan oleh Paper Rubio.
Suatu ketika, Mike dihubungkan dengan Steve Raglan, diperankan oleh Matthew Lillard, yang merupakan seorang career counselor. Melihat situasi Mike, Steve menyarankan untuk bekerja sebagai penjaga keamanan di Freddy Fazbear’s Pizza. Demi berupaya untuk mempertahankan hak kustodi sang adik, Mike pun berminat untuk mengambil pekerjaan yang sebetulnya memiliki high turnover itu.
“Five Nights at Freddy’s” sebetulnya bukan sesuatu hal yang asing buat para gamers. Film ini diadaptasi dari video game horror berjudul sama, yang mana pemainnya akan bertugas sebagai penjaga keamanan yang berupaya untuk mengamankan diri mereka dari serangan para animatronic yang hidup di malam hari. Permainan yang dirilis sejak 9 tahun lalu ini sudah ada pada berbagai perangkat permainan, termasuk iOS dan Android.
Kembali ke film. Secara penyajian, “Five Nights at Freddy’s” dikemas dengan cukup mengerikan. Hal ini amat terasa dari bagaimana penggambaran set akan restoran sekaligus arcade jaman 80-an yang sudah usang. Belum lagi dengan adegan pembuka, yang sayangnya kurang sadis namun cukup friendly, yang sebetulnya sudah memberi kode dalam memberikan ekspektasi akan ceritanya. Maksud saya kurang sadis disini oleh karena film ini cukup terasa berani untuk memperlihatkan alat-alat yang akan membunuh korban, namun kemudian bermain dengan adegan cepat secara tidak jelas dalam mengeksekusi, yang pada akhirnya hanya akan memberikan kesimpulan: sudah tereksekusi.
Tontonan yang hadir sepanjang 109 menit ini untungnya tidak melulu memacu adrenalin kita. Film ini mengangkat bumbu drama keluarga dari kehidupan Mike dan Abby. Pengembangan cerita yang membahas hilangnya Garrett, adik Mike di jaman 80-an, terasa dikemas lumayan. Kehadiran cerita Garrett, justru membangun ketertarikan saya lewat beragam pertanyaan akan siapa pelakunya, motif pelakunya, sampai darimana asal para animatronic hidup ini. Baiknya, “Five Nights at Freddy’s” mengeksekusi bagian cerita ini dengan lumayan oke.
Dari sisi penampilan, Josh Hutcherson, aktor yang sebelumnya dikenal melalui franchise “The Hunger Games” terasa lumayan dalam mengeksekusi karakter Mike yang sepintas terlihat lumayan bermasalah. Dari ensemble cast film ini, pandangan saya cukup terpikat melalui penampilan Elizabeth Lail sebagai Vanessa, yang awalnya saya kira akan menjadi sosok love interest dari Mike. Alhasil, dari segi penampilan, untuk ukuran sebuah film horror memang terasa tidak baik sekali dan tidak buruk.
Aspek yang terasa amat unggul di film ini adalah keempat animatronic pembunuh, yang menurut saya sebetulnya juga lucu. Saya menyukai bagaimana penceritaan film ini berupaya untuk mengupas dua sisi yang berbeda: mereka bisa lucu, tetapi juga sadis. Terlepas dari itu semua, pada akhirnya saya mencoba memahami keempat animatronic ini: Mereka hanyalah anak-anak. In the end, they like to play. Alhasil, untuk ukuran sebuah hiburan “Five Nights at Freddy’s” tergolong sebagai tontonan horor yang cocok ditonton beramai-ramai.