Dari sekian banyak film buatan Kamila Andini, “Sendiri Diana Sendiri” terasa yang paling personal buat saya. Film pendek yang terpilih sebagai salah satu official selection di Toronto International Film Festival ini mengangkat tema pro dan kontra dari masyarakat kita: poligami.
Cerita film ini terpusat pada karakter Diana, diperankan oleh Raihaanun Soeriaatmadja, yang sehari-hari memiliki kesibukan sebagai ibu rumah tangga. Ia memiliki seorang putra bernama Rifki, diperankan oleh Panji Rafenda Putra, yang masih berada dalam tahap penuh rasa ingin tahu. Ia pun memiliki seorang suami bernama Ari, yang diperankan oleh Tanta Ginting.
Polemik dalam cerita ini berawal dari sebuah malam, ketika Ari yang baru saja tiba di rumah, tiba-tiba mengajak Diana untuk menyaksikan slide Powerpoint buatannya. Bukan tentang pekerjaan, melainkan paparan visualisasi akan skema poligami yang Ari akan jalankan. Ari ingin menikah lagi dengan teman SMPnya yang dulu, berkat bertemu di kegiatan pengajiannya selama ini.
Sontak, dunia Diana menjadi terganggu. Ia ingin bercerai dari suaminya. Upaya-upaya pun dilakukan dengan berdiskusi dengan kedua pihak orangtua, yang tentunya tidak setuju dengan langkah yang Ari ingin ambil. Akan tetapi, buat Ari, ini bukanlah sebuah penyimpangan ataupun masalah. Ini hanyalah sekedar pemantapan akan terbiasa dengan kondisi yang baru.
Aksi Raihaanun sebagai Diana yang berupaya untuk lepas dari aksi diduakan oleh sang suami, terasa begitu dengan penuh tekanan. Sutradara Kamila Andini dengan lugas memperjelas hal tersebut dari hal-hal sederhana, seperti gusarnya hati yang tidak bisa mengetik kata dengan baik saat berbalas pesan, ataupun sulitnya merangkai kata untuk membalas pesan sang suami.
Standing position saya yang kontra dengan poligami, terasa begitu relatable dengan apa yang saksikan di dalam keluarga besar saya. Peran perempuan hanya dilihat terasa dibawah dari laki-laki, seakan-akan harus menunduk dan terkurung di dalam kekuasannya. Di sisi lain, perlakuan yang tak setimpal ini terasa perlu dimaklumi demi hanya meluluskan beragam hawa nafsu lelaki yang butuh lebih dari satu lubang.
“Sendiri Diana Sendiri” mengajak penonton untuk berpikir. Kita akan masuk ke dalam dunia penuh emosi, sekaligus dialog tentang poligami. Kadang kita dapat berkata dengan mudah: selama bisa adil, kenapa tidak? Akan tetapi, coba bayangkan bila itu terjadi pada Anda? Apakah masih akan mudah? Saya belum yakin. Lihat saja beberapa kyai terkenal yang ujung-ujungnya juga bercerai dengan istri tuanya.
Dalam perspektif saya, “Sendiri Diana Sendiri” tidak ingin untuk mengkritisi poligami. Tidak ada sedikit rasa untuk menyentil. Akan tetapi, film ini ingin menggertak lebih dalam. Ia lebih ingin memposisikan, apakah Anda siap bila di poligami? Hal inilah yang membuat cerita akan terus berlanjut untuk membawa penonton dengan bagaimana keputusan yang diambil Diana.
Alhasil, “Sendiri Diana Sendiri” menjadi salah satu film pendek Indonesia terbaik yang saya tonton. Ia hadir dengan sederhana, namun akan memicu saya untuk gemas seiring menanti keputusan Diana. Potret Diana adalah perwakilan dari banyak perempuan yang mengalami hal serupa. Sekarang, kita kembali ke pertanyaan utamanya: Anda termasuk dalam pro atau kontra?