Pertanyaan pertama yang muncul setelah nonton film ini adalah “Kemana lagu Tiptoe Through The Tulips-nya?”
Buat para penggemar seri Insidious sejak awal, pasti tahu lagu legendaris yang melekat dengan film itu, yang sampai hari ini masih dianggap lagu horor oleh banyak orang. Dan harus kusampaikan dengan kecewa, lagu itu gak akan ditemukan di film ini.
“Insidious: The Red Door” adalah film terakhir dari franchise Insidious yang bukan lagi disutradarai oleh James Wan, melainkan Patrick Wilson alias aktor pemeran Josh Lambert di film ini. Jadi, sudah sewajarnya kalau film ini punya warna yang berbeda dari film-film garapan James Wan yang kental akan horor dan dunia perhantuannya.
Singkatnya, film ini menceritakan kembali bagaimana Josh dan Dalton Lambert (Ty Simpkins) tanpa sengaja kembali ke The Further melalui lucid dream mereka dan lagi-lagi harus berhadapan dengan iblis dari pintu merah–the red door.
Kalau boleh jujur, film ini lebih terasa nuansa dramanya ketimbang horor. Konflik dan interaksi antara Josh dan Dalton sebagai ayah dan anak laki-laki mendominasi sepanjang film dan membuat film ini terasa jadi semacam tribute terhadap dua Insidious pertama. Konsistensi plot, konflik, dan kejadian-kejadian masa lalu keluarga Lambert, detail latar dan kostum, kehadiran kembali tokoh-tokoh jagoan Astral Project, khususnya Elise (Lin Shaye), sampai diadakannya lagi Dalton dan adiknya sewaktu kecil dari sudut pandang kamera yang berbeda. Ini patut diapresiasi karena setelah sepuluh tahun berlalu, semua masih terlihat persis dan berkesinambungan.
Lebih dari itu, hadir satu tokoh yang menghantui Josh dengan alasan yang kurang masuk akal. Tapi, kehadirannya dan iblis pintu merah-lah yang sukses membuat penonton menapak tilas dunia gaib Insidious kembali dengan segala jumpscare yang gak pernah gagal bikin lompat.
Jadi, buat kalian yang mengharapkan sensasi teror yang bikin sesak napas, “Insidious: The Red Door” tidak memberikannya lebih dari franchise Insidious sebelum-sebelumnya.
Secara teknis, sinematografi film ini mengungguli unsur lainnya–menurut pandanganku. Pengambilan gambar yang baru di adegan perpustakaan, palet warna yang cenderung lebih lembut, dan beberapa transisi scene yang terlihat diusahakan dengan serius.
Penulisan skrip pada bagian filosofi melukis juga dalam, belum lagi jokes yang bagus untuk disisipkan dalam cerita.
Overall, film ini cukup mengejutkan karena tidak semenakutkan itu dan punya konflik dan penyelesaian yang terhitung sederhana. Tapi, untuk para penggemar franchise Insidious, film ini tidak mengecewakan kok.