Salah satu tantangan film di masa modern tak hanya sebatas dari bagaimana upaya restorasi yang dilakukan para pegiat sinema dalam mempertahakan eksistensi film-film yang pernah kita saksikan agar tak jadi sekedar lost film. Tak hanya itu, eksistensi bioskop sebagai salah satu saluran utama pun terasa penting. Melalui “Only in Theaters,” penonton akan dibawa ke dalam sebuah dokumenter tentang tidak mudahnya perjuangan untuk melestarikan warisan budaya.
“Only in Theaters” akan membawa penonton untuk berkenalan dengan keluarga Laemmle. Nama Laemmle sendiri bukannya sebuah nama yang asing di telinga saya. Pertama kali saya mengenalnya dari film “Dracula,” sebuah horror klasik dari tahun 1931, yang VCD-nya merupakan koleksi film klasik pertama saya di tahun 2004. Nama itu adalah Carl Laemmle Jr, generasi kedua dari Laemmle. Di film ini, yang akan sedikit dibahas adalah ayahnya, Carl Laemmle, seorang imigran asal Jerman yang kemudian mendirikan Universal Studios, salah satu rumah produksi film-film kenamaan hingga kini.
Akan tetapi, kita tidak akan membahas kejayaan Carl Laemmle disini. Kesuksesan Carl membawa dirinya untuk mengajak Max Laemmle pindah ke Amerika. Ia memboyong keluarganya ke negeri baru untuk mengejar the American Dream. Max pun memiliki sebuah teater yang diberi nama Laemmle Theaters. Singkat cerita, putranya Robert ‘Bob’ Laemmle menjadi penerus. Di masa tuanya, Bob masih aktif mengurus bisnis keluarganya, walaupun sebetulnya Greg Laemmle, putranya, yang menakhodai usaha ini.
Sepanjang 94 menit, sutradara Raphael Sbarge terasa mengemas ceritanya untuk membahas bagaimana Laemmle Theaters yang telah malang melintang di industri sinema selama lebih dari 85 tahun. Laemmle tak hanya jadi sebatas nama ikonik sebuah keluarga yang identik dengan film (berkat nama besar Carl ataupun Max), tetapi juga telah berubah sebagai bagian penting dari perkembangan sinema independen dan film berbahasa asing di Amerika Serikat.
Bila sekedar membaca, keberadaan Laemmle Theaters di kota-kota besar, seperti Los Angeles, menjadi salah satu tujuan utama film-film independen. Tujuannya, selain jejaring bioskop ini yang begitu menghargai keberadaan arthouse, mereka pula yang membantu film-film agar dapat berkompetisi di ajang Academy Awards. Oh ya, AMPAS, selaku organizer Academy Awards memang memiliki aturan utama bagi setiap featured films yang ingin dapat dinominasikan. Biasanya, ada ketentuan masa tayang selama beberapa hari, terutama pada jejaring-jejaring bioskop di kota besar, seperti di Los Angeles ataupun New York.
Tak hanya surga bagi film independen, Laemmle Theaters juga diceritakan sebagai salah satu bioskop yang membawa french new wave, ataupun foreign cinema. Sebut saja seperti karya Jacques Demy, Pedro Almodovar, Agnes Varda, dan lainnya. Dengan demikian, Laemmle Theaters memang tak hanya sekedar suatu bisnis. Ia didefinisikan sebagai bagian yang melekat dari perkembangan sinema di Amerika Serikat.
Malangnya, bioskop memang semakin sulit bersaing. Keberadaan platform streaming on-demand menjadi salah satu pemicu menurunnya minat orang menonton ke bioskop. Bagi para penikmat bioskop, pengalaman menonton yang dihadirkan pada layar lebar akan terasa amat berbeda bila dibandingkan melalui televisi ataupun gawai kita. Saya termasuk setuju untuk urusan ini. Namun, bisnis adalah bisnis. Sebuah bioskop juga membutuhkan setidaknya pendapatan untuk menutupi biaya operasional mereka. Hal inilah yang memicu Greg Laemmle untuk membuka peluang dalam menjual usaha keluarganya.
Seiring dengan berjalannya cerita yang membawa penonton untuk bertanya-tanya akan resolusi dari dilema Greg: memilih bisnis atau mempertahankan legacy; “Only in Theaters” ternyata berlanjut dengan drama yang kita semua rasakan, pandemi Covid-19. Pandemi memang mematikan usaha bioksop di seantero jagad Bumi. Sejak 15 Maret 2010, Laemmle Theaters terpaksa harus menutup aktivitas usahanya, yang ternyata menjadi malapetaka baru bagi Greg yang penerus. Sesampai di bagian ini, bagian tak terduga dari skenario awal “Only in Theaters” menjadi semakin runyam.
“Only in Theaters” menjadi sebuah dokumenter yang sedikit mengejutkan. Hasil eksekusi yang mungkin sedikit tidak terduga ini malah berhasil mengeksplorasi akan sisi personal kehidupan Greg Laemmle yang semakin tidak baik-baik saja, termasuk mental well-being-nya. Periode pandemi seakan mengisi bagaimana Babak Ketiga dari film ini, sekaligus membawa penonton pada titik kesimpulannya.
Secara penyajian, saya begitu menyukai bagaimana penggunaan referensi yang dihadirkan oleh film ini. Film ini banyak membahas di jaman keemasan sinema, ketika film-film dalam periode tahun 60-70an, yang akan membawa kita ke banyak judul, mulai dari “The Graduate,” “Five Easy Pieces,” sampai “Fiddler on the Roof.” Begitupula dengan narasumber yang dihadirkan. Mulai dari kritikus film Leonard Maltin, filmmaker Ava DuVernay, sampai penulis “Call Me By Your Name” James Ivory dan penulis “Ghost” Bruce Joel Rubin, ikut berkomentar.
Setidaknya, konklusi yang dihadirkan memang akan cukup memberikan kelegaan sekaligus keberhasilan untuk merawat warisan budaya yang memang sepantasnya patut dipertahankan. Mengutip ucapan Greg jikalau ini tak hanya sekedar urusan bisnis, tetapi ini lebih sebagai sebuah upaya untuk melestarikan sebuah warisan. Dan memang, pada akhirnya, Laemmle Theaters memang akan selalu hadir, termasuk ketika Amerika sedang berduka pasca penembakan Presiden Kennedy. Seperti positioning Laemmle Theaters yang diujarkan dalam film ini: ‘Movie theaters are not close, We’re open every time.” Amazing!