Sebagai perhatian di awal, perlu disadari bila film ini merupakan sebuah tontonan yang cukup vulgar dan bukan untuk semua. Berjudul “Sodom’s Cat,” penonton akan dibawa untuk masuk ke dalam sebuah private party termasuk kelanjutan cerita dari para pesertanya.
Film pendek berdurasi 32 menit ini dimulai dari kehadiran seorang pria, yang tampak lugu, bernama Sun, diperankan oleh Wu Chih To, yang tiba di sebuah kediaman. Ia kemudian disambut seorang laki-laki lainnya bernama Rodger, diperankan oleh Ark Zheng, yang kemudian membawanya untuk masuk dan tiba di dalam tempat perhelatan. Sesampai disana, Sun yang tanpa dialog sedikit pun bersampingan dengan Duke, diperankan oleh Zhou Xian Zhong, yang sedari awal telah memperlihatkan ketertarikan dari awal. Dua laki-laki lainnya kemudian masuk ruangan, Rodger menyalakan musik, dan yang ditunggu pun tiba.
“Sodom’s Cat” merupakan film pendek asal Hong Kong, disutradarai oleh Huang Ting Chun, yang di bagian awalnya akan menyajikan pintu Sodom dengan kemasan eksplisit dari kelima pria peserta pesta liar ini. Setelah itu, penonton akan masuk ke dalam kehidupan Sun beserta keempat strangers lainnya pasca pesta itu.
Apa yang dihadirkan “Sodom’s Cat” dapat terbilang sebagai salah satu yang berani untuk film bertema seperti ini, yang mengingatkan saya dengan karya film-film sutradara Scud yang memang sudah terkenal dengan segala adegan eksplisitnya. Walaupun terasa singkat, penyajian film ini terasa membawa penonton seperti pengamat, mengingat karakter Sun yang cukup hemat dialog. Berjalannya cerita, ternyata masing-masing dari kelima peserta pesta ini memiliki kisah kehidupan mereka yang dihadirkan singkat namun dapat dipahami. Dinamika inilah yang membuat ceritanya menjadi menarik, terutama bagaimana setiap dari mereka melihat konsekuensi setelahnya.
Ada hal yang sedikit mengganggu dari film pendek ini. Salah satunya ketika jeda yang terlalu panjang dengan suguhan black screen ketika masuk ke dalam bagian kisah lainnya. Padahal penyajian kisah tersebut terbilang hanya sepotong-potong. Ini termasuk dengan dinamika kehidupan karakternya yang memancing penonton untuk ingin tahu lebih, namun malah jadi menggantung begitu saja.
Walaupun berakhir dengan beberapa pertanyaan dalam benak saya, “Sodom’s Cat” hanya terasa berani dalam sepertiga bagian awal film ini. Sayang, kelanjutan dua per tiganya tidak memberikan kejutan ataupun konklusi yang begitu berarti. Setidaknya, film ini sedikit memberi warna, mengingat terasa amat jarang film bertemakan LGBT yang mengangkat tema sejenis. Okay!