Semenjak terpilih sebagai wakil dari India untuk Academy Awards, “Last Film Show” langsung masuk ke dalam tontonan saya. Awalnya, saya tidak punya ekspektasi banyak dengan film ini. Apa yang akan ditawarkan film ini tentu akan jauh berbeda dengan produksi film yang sama-sama dari India untuk award season tahun ini, “RRR.”
Film ini berkisah tentang seorang anak bernama Samay, yang diperankan oleh Bhavin Rabari, yang punya love at the first sight ketika diajak orangtuanya pergi ke bioskop. Sekilas, ini serupa dengan cerita autobiografi Steven Spielberg dalam “The Fabelmans,” yang sama-sama jatuh cinta semenjak menyaksikan “The Greatest Show in the World.” Kecintaannya itu membangun rasa ingin tahu Samay akan film.
Masalahnya, Samay berasal dari keluarga yang kurang mampu. Ia berasal dari Chalala, sebuah desa kecil di India. Ketika Samay berujar untuk bisa membuat film, sang Ayah menolaknya mentah-mentah. Menurut ayahnya, yang diperankan oleh Dipen Raval, sebagai golongan Brahma, tidak wajar bila mereka bekerja di bidang entertainment. Akan tetapi, hasrat yang begitu tinggi tetap membuatnya semakin berambisi.
Dari karakternya, Samay digarap sebagai seseorang yang tekun, ambisius, namun sebetulnya kritis. Walaupun terlihat sebagai anak yang berani melawan, kekritisan inilah yang membuatnya jadi pusat cerita yang cerita. Di sisi lain, sang Ibu, yang diperankan oleh Richa Meena, selalu mendukung aspirasi putranya, walaupun Ia terlihat diam.
Sehari-hari Samay harus menaiki kereta dari Chalala menuju pusat kota. Setiba di kota, Ia dan teman-temannya akan menaiki sepeda secara berjamaah, lalu pergi ke sekolah. Karena Samay terbilang semakin penasaran dengan film, Ia diam-diam kabur dari kelas, dan menyelinap masuk ke Galaxy Theatre, tempat Ia pertama kali melihat film. Tidak disangka, bekal buatan sang Ibu membuatnya berkenalan dengan seorang projectionist, diperankan oleh Bhavesh Shrimali, yang membawanya semakin dalam dengan film.
Secara penyajian, apa yang dihadirkan oleh “Last Film Show” terasa tidak terlalu orisinil. Ada banyak referensi yang digunakan dalam ceritanya, yang sepintas akan mengingatkan saya dengan beberapa film. Misalnya saja, ketika penggunaan lagu “Also sprach Zarathustra” dengan penyajian yang terbilang serupan dengan “2001: A Space Odyssey.” Selain mirip “The Fabelmans,” film ini sebetulnya punya character relationship layaknya “Cinema Paradiso.” Bedanya, ini gaya India.
Sebetulnya, “Last Film Show” terbilang sebagai sebuah tribut bagi sinema-sinema asal India. Selagi cerita berjalan, penonton akan dihadirkan dengan cuplikan-cuplikan film, yang dihadirkan di bioskop. Oh ya, India sendiri sebetulnya tidak memiliki sistem layaknya bioskop di Indonesia. Disana, film-film lama pun masih ditayangkan secara reguler di bioskop. Itulah mengapa, nama-nama seperti Shah Rukh Khan, Salman Khan, Amitabh Bachchan tetap menggelegar hingga kini.
Sayangnya, semakin cerita berlanjut, saya semakin bosan dengan plotnya. Akan tetapi, salah satu ketertarikan saya muncul ketika Samay dan teman-temannya menambahkan efek audio seadanya dari film yang mereka hadirkan. Walaupun terasa too good too be true, eksekusi bagian yang ini cukup terasa membekas.
Alhasil, “Last Film Show” tidak dapat menembus fenomenalnya film-film yang Ia referensikan. Walaupun dibekali dengan penyajian sinematografi yang amat menawan, ini bukan sebuah film yang dapat menghibur semudah “RRR.” Terlepas dari itu semua, ini adalah sebuah tribut bagi Bollywood yang tidak boleh dipandang sebelah mata.