Mengambil judul layaknya sebuah film superhero, Alejandro G. Iñárritu menghadirkan “Birdman” sebagai tontonan arthouse yang berkisahkan tentang seorang aktor yang merupakan mantan pemeran Superhero.
Sosok aktor tersebut bernama Riggan Thomson, yang diperankan oleh Michael Keaton. Riggan telah memasuki usia ke-60, dan sedang membangun karirnya kembali dengan memproduseri sekaligus membintangi sebuah teater Broadway yang berjudul “What We Talk About When We Talk About Love”, sebuah kisah pendek karangan Raymond Carver.
Secara garis besar, kisah film ini memang akan terpusat pada karakter Thomson. Dimulai dari bagaimana Ia menghadapi dirinya sendiri lewat aksi imajinasi levitation dan telekninesis; bersama sahabat sekaligus pengacaranya, Jake, yang diperankan oleh Zach Galifianakis, dalam mengambil resiko untuk mendanai pertunjukan Broadway mereka; serta hubungannya dengan Sam, putri tungggal yang sedang melakukan recovery pada kecanduan obat, yang diperankan Emma Stone.
Film ini juga mengisahkan hubungan Riggan dengan karakter lainnya. Mulai dari mantan istrinya, Sylvia, yang diperankan oleh Amy Ryan. Lalu ada sosok Laura, seorang aktris sekaligus kekasih Riggan yang sedang hamil, yang diperankan oleh Andrea Riseborough. Juga Lesley, seorang aktris yang baru memulai debutnya di Broadway, yang diperankan oleh Naomi Watts. Terakhir, ada sosok Mike, diperankan oleh Edward Norton, yang merupakan mantan kekasih Lesley dan aktor pengganti dalam drama Riggan yang awalnya bersinar namun lama-kelamaan berubah menjadi sosok antagonis bagi beberapa karakter disini.
Iñárritu menghadirkan sebuah film yang terdiri dari beberapa continuous scene yang cukup panjang, mengalir tanpa henti, dari satu karakter ke karakter lainnya. Tentunya, ini merupakan sebuah resiko, karena tanpa kualitas akting, editing, dan sinematografi yang tepat, eksekusi film ini bisa menjadi baik sekali ataupun buruk sekali. Alhasil, film ini dikemas cukup matang.
Tidak seperti film-film lain yang biasanya menuntut kualitas akting hanya pada pemeran utama atau beberapa karakter lainnya, film ini hadir dengan menuntut pada overall cast-nya. Setiap karakter dalam film ini punya proporsi yang cukup seimbang membuat mereka bersinar satu sama lain, tanpa memperhitungkan sosok Thomson sebagai karakter utama.
Film ini juga akan memukau penonton dengan gaya penceritaannya detil yang dirancang oleh Alejandro González Iñárritu, Nicolás Giacobone, Alexander Dinelaris, dan Armando Bo; kemudian disesuaikan dengan sinematografi Emmanuel Lubezki yang sangat mengalir dan dilatari dengan sentuhan score drum Antonio Sanchez.
Film ini tidak cukup untuk ditonton sekali, karena banyak detil-detil kecil yang cukup penting untuk memahami kisahnya. Sayangnya, menurut saya, film yang berdurasi hampir 2 jam ini bisa akan cukup membosankan, sehingga punya peluang kecil untuk ditonton berkali-kali.
Setelah sukses menyabet 9 nominasi pada Academy Award, film ini dapat dikatakan sebagai salah satu contender terkuat selain “Boyhood.” Film ini juga merupakan penampilan terbaik dari Michael Keaton, yang sebetulnya punya background sama dengan karakter yang diperankannya, tetapi beda nasib. At the end, ada salah satu kutipan menarik dari film ini, “People, they love blood. They love action. Not this talky, depressing, philosophical bullshit.”