Kata ‘Sabaya’ yang berasa dari bahasa Arab memiliki arti “perempuan.” Begitulah bagaimana “Cinema Sabaya” membawa kita secara intim, menilik kehidupan 9 perempuan Israel yang dipersatukan dalam sebuah kelas workshop pembuatan film mingguan di sebuah gedung municipal yang terletak di kota Hadera, Israel Utara. Melalui medium film, Rona (Dana Ivgy), seorang pembuat film dari Tel Aviv sekaligus pemimpin workshop mengajak para perempuan untuk berani memperlihatkan diri dan membagikan cerita serta mimpinya kepada dunia.
“Cinema Sabaya” menjadi sebuah karya debut Rotem yang terlihat begitu organik dan natural. Sekilas ketika menontonnya, film ini akan terasa seperti sebuah film dokumenter, karena terasa begitu alami. Kita dibawa melihat berbagai sisi kehidupan perempuan Arab dan Yahudi yang memiliki latar dan cerita yang berbeda. Tidak hanya secara ras, tetapi juga secara usia, pekerjaan, dan fase kehidupan. Ada yang pengacara, head HR, pensiunan, pustakawan, pelajar, manajer proyek, caregiver sampai pekerja pajak.
Salah satu kekuatan magis “Cinema Sabaya” adalah pada karakter dan storytelling yang memikat. Setiap karakter terasa begitu riil. Rotem tampak memberi banyak kebebasan serta kesempatan bagi para aktor untuk bermain dan bereksplorasi sebagai dirinya sendiri, tak terkecuali Dana Ivgy. Setiap karakter perempuan disini bukanlah sesuatu yang kebetulan ditulis, melainkan menjadi sebuah simbol “kebebasan.”
“Cinema Sabaya” berangkat dari sebuah prejudisme yang melekat dalam diri setiap perempuan di dalamnya, untuk akhirnya setiap dari mereka bereksplorasi akan cerita dan kebenaran yang ingin mereka sampaikan tentang dirinya, dan bagaimana mereka ingin dunia mengenal dirinya.
Tanpa ada adegan aksi yang berlebihan, Rotem berhasil menangkap sebuah cerita yang autentik dari dialog serta aksi-reaksi antar pemain. Hampir seluruh adegan dilakukan di area workshop Rona, kecuali adegan yang diambil oleh masing-masing perempuan yang menangkap gambar rumah, pasangan, anak, ataupun objek lain yang melekat dalam hidup mereka. Setiap minggunya, mereka akan diberi tugas untuk merekam dan saling memberikan feedback satu sama lain. Lewat sajian film mingguan inilah, kita dapat melihat berbagai konflik yang dihadapi setiap karakter. Mulai dari suami yang abusive, impian yang kandas, gejolak ekonomi keluarga imigran, hingga perempuan bisexual yang tereksklusi.
Meskipun begitu, film ini jauh dari kata statis ataupun membosankan. Melainkan kita akan dibawa untuk berpetualang mengarungi dinamika antara 9 perempuan yang tidak semerta bersatu dan saling terikat dalam hubungan “feminisme” belaka. Tentunya kita diajak turut merasakan kecanggungan pertemuan pertama, serta melihat proses pengembangan interaksi dari awal mengikuti workshop hingga tugas terakhir mereka. Sebagaimana perempuan, kita akan disajikan serangkaian perdebatan politik dan ideologi yang panas, perbedaan pendapat mengenai perceraian dan hubungan sesama jenis. Tentunya, karena film ini berangkat dari kultur Timur yang begitu kuat, beberapa pembahasan seperti penggunaan Hijab, peran serta kewajiban istri dalam keluarga dan melayani suami, hingga kekhawatiran akan labeling serta ancaman terorisme.
Bagi saya pribadi, “Cinema Sabaya” menjadi sebuah angin segar dan pengalaman menonton film Israel pertama yang melekat. Selama 90 menit, film fiksi yang menggunakan campuran bahasa Arab dan Yahudi mampu mempertahankan dinamika serta menghadirkan twist pada setiap karakter secara alamiah, yang membuatnya terasa begitu dekat dengan kita.
“Cinema Sabaya” alih-alih sebuah film, dapat dilihat sebagai sebuah ruang aman bagi perempuan. Tidak hanya untuk mengutarakan pendapat, tetapi tentang bagaimana secara dalam menyelami kehidupan, perspektif, dan kebenaran satu sama lain. It’s worth the shot!