Pernah gak sih kalian merasa untuk mengerjakan banyak hal di suatu waktu yang kadang beri tekanan sendiri? Itulah yang terjadi ketika berada di adegan awal “Everything Everywhere All at Once.” Sebagai premisnya, film ini ternyata akan membawa penonton ke dalam perjalanan multiverse yang luar biasa.
Sosok utama di film ini adalah Evelyn Wang, seorang perempuan imigran asal China yang sedang sibuk berhitung. Ia sedang berupaya untuk menghitung pencatatan keuangan dari bisnis laundrynya. Di sisi lain, suaminya, Waymond, yang diperankan oleh Ke Huy Quan, sedang berencana untuk menceraikan istrinya.
Hal ini tambah diperburuk, ketika sang putri satu-satunya, Joy, yang diperankan oleh Stephanie Hsu, membutuhkan pengakuan atas hubungannya dengan Becky. Cuma masalahnya, kakek mereka yang konservatif, Gong Hong, yang diperankan James Hong, sedang tiba sekalian untuk merayakan Chinese New Year.
Keesokan harinya, Evelyn, Waymond dan Gong, pergi mengunjungi kantor pajak. Auditor disana, Deirdre, yang diperankan oleh Jamie Lee Curtis, mempertanyakan atas pembelian mesin karaoke yang amat tidak berhubungan dengan usaha laundrynya. Disaat yang sama, Evelyn didatangi sosok Waymond dari semesta yang lain, yang sambil menjelaskan akan diperlukannya Evelyn untuk menghadapi Jobu Tupaki, sosok yang akan mengancam multiverse.
Film ini ditulis dan disutradarai oleh The Daniels, sebuah sebutan bagi Daniel Kwan dan Daniel Scheinert. Sekilas, film yang sebetulnya terbilang film independen ini benar-benar dikemas dengan special effects dan visual effects yang dimaksimalkan. Bila menyaksikan wawancara keduanya, film ini digarap di masa pandemi, sehingga kegiatan seperti social distancing cukup mempengaruhi pembuatan film ini. Begitupula dengan Michelle Yeoh, yang beberapa adegannya diambil terpisah dari Paris.
Secara penyajian, ini suatu film yang jenius! Penonton akan menikmati sebuah suguhan cerita yang unik yang sebetulnya tidak semembingunkan “Doctor Strange in the Multiverse of Madness.” Disini, penonton akan menikmati adegan demi adegan yang kebanyakan terinspirasi dari film-film lain.
Yang menjadi salah satu ciri khas film ini adalah bagaimana adegan-adegan pertarungan diatur sedemikian rupa, dengan menggunakan long shot. Ini amat berbeda dengan film-film action barat yang kadang menggunakan banyak shot dalam mempertegas aksi, sekaligus mengandalkan sisi editing. Lain hal disini, “Everything Everywhere All at Once” seakan menghidupkan cara pengambilan film-film klasik kungfu dari Tiongkok, yang menuntut para aktornya bisa melakukan bela diri.
Tak hanya itu, beberapa bagian film ini juga terinsipirasi dari karakter lain. Misalnya ketika sosok Jobu Tupaki yang hadir dengan kostum-kostum unik nan futuristik, ataupun ketika Ia hadir layaknya karakter “Elvis.” Ataupun ketika di sebuah adegan yang terdapat dua karakternya sedang berpose ala Wolverine. Ini belum termasuk dengan adegan India dari TV, yang mengingatkan kita dengan film-film musikal Bollywood.
Salah satu yang cukup berkesan buat saya adalah ketika film ini memperlihatkan situasi universe dengan sinematik Wong Kar Wai. Disini, Evelyn dan Waymond hadir sebagai sosok CEO dan aktris dengan salah satu quote terbaik di film ini: “So, even though you have broken my heart yet again, I wanted to say, in another life, I would have really liked just doing laundry and taxes with you.”
Penyajian yang begitu apik ini tentunya membutuhkan penampilan yang juga apik. Baiknya, Michelle Yeoh benar-benar mengesankan. Ia hadir dengan sosok begitu banyak Evelyn di film ini. Beberapa diantaranya adalah sebagai pemilik Laudryomat, aktris, penyanyi buta, chef pizza, sampai tahanan penjara. Walaupun hanya berdurasi singkat-singkat, namun saya menduga waktu pembuatannya tentu akan sangat lama. Yeoh benar-benar hadir dengan totalitas yang luar biasa. Ia bisa amat mengesankan sebagai seorang Ibu, petarung, sekaligus drama romansa dengan suaminya.
Di sisi lain, Ke Huy Quan juga jadi pendamping yang akan mencuri perhatian kita. Salah satu yang luar biasa adalah ketika Ia hadir dalam tiga karakter, yang dalam proses pengembangan ceritanya Ia gambarkan dari tiga sosok hewan. Suami Evelyn yang digambarkan dari seekor squirrel, elang untuk sosok Alpha Waymond, dan rubah bagi sang CEO. Saya amat amaze ketika menyaksikan aksi tarung yang menggunakan tas pinggang, yang seraya mengingatkan saya dengan aksi Jackie Chan.
Begitupula dengan Stephanie Hsu. Walaupun hadir sebagai anak sekaligus tokoh antagonis utama, saya menyukai caranya yang berupaya menggambarkan kalau sosok ini enggak jahat-jahat amat. Gaya manipulasi yang dimainkan, akan membuat penonton terbuai. Plus, ketika Ia hadir dalam segala wujud.
“Everything Everywhere All at Once” adalah sebuah sajian yang liar. Film ini akan menantang penonton untuk menghadirkan ragam semesta lain dengan keunikan yang lain. Beberapa yang terbekas di kepala saya adalah semesta dengan tangan hot dog ataupun semesta batu yang benar-benar membawa kita ke dalam adegan non-dialog yang dilengkapi caption.
Akhir kata, “Everything Everywhere All at Once” adalah salah satu rare gem di tahun 2022. Durasinya yang 130 menit tidak berhenti membuat saya untuk beberapa kali menyaksikannya. Alhasil, ini adalah sebuah eksekusi yang luar biasa. Semuanya dirangkai terasa begitu unik, namun Anda dapat memahami maksud tersebut, hingga sampai-sampai kadang terasa sulit untuk dijelaskan lewat kata-kata. Genius!