Setiap orang pasti punya impian dan rela melakukan apapun demi meraih impian mereka. Seperti Haris dan Maya dalam film “Cross The Line”, sepasang kekasih yang punya impian untuk bekerja di Singapura. Impian keduanya diharapkan mampu memberi mereka hidup yang lebih baik. Namun sialnya, mereka justru ditipu. Bukannya bekerja di singapura, mereka malah terdampar di sebuah Pelabuhan sebagai ABK (Anak Buah Kapal) sambil menunggu panggilan kerja yang entah kapan datangnya oleh agen mereka.
Bekerja di luar negeri masih menjadi pilihan yang menggiurkan bagi sebagian orang. Gaji yang besar diharapkan mampu memberi kehidupan yang lebih baik di dalam negeri. Namun, Maya dan Haris malah jadi budak di negeri sendiri karena salah memilih agen penyaluran ilegal. Nasib yang dihadapi oleh Maya dan Haris adalah isu yang hendak diangkat oleh pembuat film. Dibalik menggiurkannya pekerjaan di luar negeri, tidak semua orang berhasil mendapatkannya.
Film ini merupakan kolaborasi kedua Chicco Kurniawan dan juga Shenina Cinnamon setelah “Penyalin Cahaya”, salah satu film favorit saya. Disutradarai oleh Robby Ertanto, film ini mengingatkan saya akan karya sang sutradara sebelumnya, yaitu “Ave Maryam”. Penceritaannya lambat, shot-nya ciamik, dan alunan musiknya yang menggugah.
Menurut saya, film ini merupakan eksplorasi peran yang menarik bagi Shenina Cinnamon dan juga Chicco Kurniawan. Masing-masing karakter harus dapat menggambarkan rasa keputusasaan melalui mimik dan juga gestur karena sutradara tidak menggunakan banyak dialog dalam film tersebut.
Konflik di film ini terjadi saat orang tua Maya sakit. Sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah di tipu, Maya dan Haris malah harus membayar utang kontrak jika ingin keluar. Maya terpaksa menjual lobang untuk mendapatkan uang lebih untuk pengobatan ibunya. Sedangkan Haris memilih untuk menjadi agen human trafficking demi membantu sang kekasih.
Cerita seperti ini menurut saya cukup klise. Menjadi pelacur adalah satu-satunya opsi yang ditawarkan kepada Maya. Pilihan ini cukup sering ditawarkan kepada karakter perempuan yang terdesak dengan situasi. Tubuh perempuan dianggap sebagai nilai yang berharga dan dapat diperdagangkan.
Sampai situasi tersebut, film ini bukan lagi bercerita tentang perjuangan mereka meraih mimpi, melainkan sebuah upaya bertahan hidup. Maya yang awalnya mendorong Haris justru memilih menyerah. Haris lah yang tetap berjuang untuk menghidupkan mimpi Maya.
Salah satu hal yang menurut saya patut diapresiasi adalah pemilihan setting cerita yang tidak biasa. Hampir sebagian film diambil di atas kapal. Selain itu, film ini juga didukung oleh sinematografi bagus. Kita tidak hanya merasakan keindahan tapi juga pilu melalui ruang yang tersaji.
“Cross The Line” memang bukan film yang berpusat pada hubungan romantis sepasang kekasih melainkan upaya masing-masing karakter dalam bertahan hidup di tengah situasi yang kacau. Isu dalam film inilah yang menarik saya untuk menonton film tersebut.