Sebelum menyaksikan “The Theory of Everything”, don’t expect to get a little bit intelligent or explanation about Hawking’s theory. Ini hanyalah sebuah kisah perjalanan tentang kehidupan, cinta, dan bagaimana Hawking bisa menjadi salah satu fisikawan yang berpengaruh di masa ini.
Film ini sebetulnya merupakan sebuah adaptasi dari sebuah memoar mengenai Stephen Hawking yang dikarang oleh mantan istrinya, Jane Hawking, pada tahun 2008 dengan judul buku “Travelling to Infinity: My Life with Stephen.” Anthony McCarten kemudian menulis naskah film ini dan merubah judulnya menjadi “The Theory of Everything.”
Kisah film ini akan berawal tentang Hawking, yang diperankan oleh Eddie Redmayne, yang sedang menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Universitas Cambridge. Suatu ketika, Ia bertemu dengan Jane Wilde, yang diperankan oleh Fecility Jones, seorang mahasiswi yang mendalami romance languages. Pertemuan keduanya ternyata berlanjut. Tragisnya, di saat-saat yang sebetulnya bahagia tersebut harus, Hawking di vonis dokter mengidap motor neurone disease, dan hanya memiliki 2 tahun untuk bertahan hidup.
Semuanya berubah ketika ada aksi “kenekatan” Jane yang tetap mengejar Stephen, yang tidak menyerah dengan situasi Stephen, dan mau berjuang bersama melawan penyakitnya itu. Seperti katanya, “We’re going to fight this illness together.” Keduanya pun menikah dan kisahnya terus berlanjut sampai bagaimana Hawking bisa menjadi seperti saat ini.
Film ini disutradarai oleh James Marsh, yang sebelumnya dikenal lewat “Man on Wire”, sebuah Oscar-winning documentay film. Selama kurang lebih 123 menit, penonton akan diajak untuk bernostalgia dengan kisah Hawking mulai dari era pertengahan 1960-an. Marsh menampilkan sebuah tontonan yang punya alur pelan di bagian awal, sehingga bisa cukup membosankan. Namun, ketika memasuki bagian pertengahan, kisah film ini berkembang menjadi semakin menarik.
Yang patut dipuji dari film ini adalah akting Eddie Redmayne atas usahanya untuk meniru Stephen Hawking. Suatu pencapaian akting yang luar biasa, bila membandingkan penampilannya dalam “Les Miserables” ataupun “My Week with Marilyn.” Redmayne punya andil yang cukup besar. Selain itu sosok Jane Hawking yang diperankan Felicity Jones menjadi salah satu tokoh utama yang memberi “nyawa” pada kisahnya. Jones memperlihatkan sebuah penampilan yang cukup memikat dan mencuri perhatian.
Jujur, saya tidak terlalu menyukai cerita film ini. Tetapi, penyajian kisahnya lewat sebuah adaptasi yang menarik, penampilan dan kualitas aktinya, hingga cinematography, score, dan art direction film ini yang menjadikannya sebuah biographical drama yang bisa mencuri perhatian selama awards season 2014.
Sebagai penutup, ada sebuah kutipan Hawking yang cukup inspirasional di bagian akhir film: “There should be no boudaries to human endeavor. We are all different. However bad life may seem, there is always something you can do, and succeed at. While there’s life, there is hope.