Nushu merupakan tulisan-tulisan kecil yang tidak diketahui oleh kaum lelaki. Berdasarkan film “Hidden Letters”, hanya wanita yang bisa mempelajari, menulis, dan mengembangkan Nushu. Ditulis dengan huruf berbeda dari huruf China biasanya, Nushu memiliki arti dan makna sendiri dari setiap hurufnya. Menurut saya, “Hidden Letters” berhasil menyampaikan maksud dari Nushu sendiri kepada penontonnya tanpa penjelasan berbelit.
Di sepanjang film dokumenter ini, penonton akan disuguhkan dengan topik tentang bagaimana seorang perempuan sulit menempatkan diri pada kehidupan sosial, padahal kesetaraan gender sudah merekah luas. “Hidden Letters” bagi saya adalah dokumenter pemicu emosi, karena dalam film ini penonton diberi tahu bahwa sejatinya seorang perempuan harus melayani suaminya dan keluarga, meski pada akhirnya banyak sekali wanita di film ini tumbuh independent tanpa memikirkan kehidupan pernikahan. Selain itu, masalah lain dalam film ini yang dapat ditemui adalah para perempuan tidak diperbolehkan bernyanyi dengan keras, mereka hanya diizinkan untuk bernyanyi dengan suara kecil bak burung bisu. Lantas, siapa yang bisa mendengar rintihan mereka?
“Hidden Letters” menyuguhkan sisi naratif yang sangat menarik. Terdapat dua pandangan dari wanita-wanita muda yang bertujuan sama. Mereka sama-sama pegiat Nushu, yang membedakan mereka adalah satu di antara mereka pernah menikah, dan satu lagi akan menikah. Melihat perbedaan ini, “Hidden Letters” memberikan jawaban yang mantap untuk penonton, apalagi ketika mereka memutuskan kehidupan mereka pada akhirnya.
Dokumenter yang mengangkat tema tradisi dan feminisme ini sungguh menarik. Film ini memberitahu bahwa menjadi wanita di China sangat tidak mudah. Semakin sebuah keluarga memiliki banyak anggota perempuan, semakin terlihat lemah mereka di kacamata masyarakat. Kemudian, seorang istri yang dibilang seharusnya bersyukur jika suaminya tidak membentak dan memukulnya. Tetapi, bukankah memang seharusnya seperti itu? Untuk apa mereka bersyukur atas hal yang memang seharusnya tidak dilakukan?
“Hidden Letters” berhasil membangkitkan jiwa independen yang telah lama tidur lewat wawancaranya dengan narasumber, nyanyian Nushu, serta dialog-dialog lain. Ada beberapa dialog yang menarik, yakni “Saya pikir pernikahan akan menghempas badai, ternyata pernikahan itu sendiri badainya.” dan “We had free souls when we were girls”. Dari dialog-dialog itu, saya berkesimpulan bahwa tiap dialog yang diciptakan memang saling berhubungan. Jelas, film ini menceritakan bagaimana Nushu menjadi ‘secret code’ dan bahasa antar wanita.
Terlepas dari itu semua, color grading menyuguhkan kesan hangat. Jujur, hal ini membuat saya cukup bingung karena memang sebenarnya film ini mengesankan kehangatan, tetapi hangat yang bisa ‘memberontak’. Menurut saya, ini bisa menjadi salah satu interpretasi perempuan dari film “Hidden Letters” sendiri. Bagi saya pula, “Hidden Letters” bukanlah film dokumenter yang memberi angin sepoi kepada penontonnya agar tertidur, tetapi justru membuka mata lebih lebar lagi agar menjangkau wawasan seluas dunia. Benar-benar mengesankan pada setiap kedipan mata!