Akhirnya, salah satu studio nasional meluncurkan superhero yang diperkenalkan lewat edisi perdana mereka dalam “Satria Dewa Gatotkaca.” Nama Gatotkaca mungkin sudah tidak asing lagi. Selain dikenal sebagai tokoh dalam kisah Mahabarata, Ia juga dikenal sebagai salah satu karakter dalam game MLBB.
Film ini diawali dengan setting di tahun 2006, di sebuah kampung pinggir bernama Bukit Tetika dimana seorang Ibu merawat putra satu-satunya. Arimbi, nama wanita tersebut yang diperankan oleh Sigi Wimala, ternyata punya misi tersendiri untuk tidak tinggal di tengah kota Astinapura. Ia berupaya untuk melindungi putranya, Yuda, yang diperankan oleh Rizky Nazar. Suatu ketika, rombongan keturunan Kurawa mendatangi mereka, hingga Arimbi harus mengalami gangguan kejiwaan.
Singkat cerita, Yuda dewasa berupaya mati-matian menjaga sang Ibu. Ia harus pindah dari kontrakan ke kontrakan yang lain, bekerja, sampai rela drop out dari Universitasnya. Untung saja, Ia punya sahabat baik hati bernama Erlangga, yang diperankan oleh Jerome Kurnia. Suatu hari, Yuda yang baru saja diberhentikan karena perilakunya yang keras, harus masuk ke dalam sebuah petualangan yang tidak pernah Ia duga.
Sejujurnya, saya melihat penggarapan “Satria Dewa Gatotkaca” terasa dikemas begitu ambisius. Sedari awal, film ini melalui penceritaan background yang sudah akan memikat lewat aksi-aksi adegan cepatnya. Akan tetapi, seiring ketika masuk ke dalam opening credits, visualisasinya ini mengingatkan saya dengan opening serial televisi superhero lokal yang eksis di televisi nasional. Ga banget. Tapi, saya coba lanjutkan dengan ekspektasi yang lebih tinggi.
Ternyata, seiring berjalannya cerita, film yang digarap Hanung Bramantyo ini terasa semakin menggigit. Entah apa karena mata saya yang mulai terbiasa menikmati CGInya, sedari awal CGI yang terasa biasa saja kemudian berubah untuk memberikan kesan lumayan, yang setidaknya lebih baik dari efek ramah anak di televisi swasta.
Masih bicara pengemasannya, dengan setting kota Astinapura, penonton akan dengan mudah mengenali kalau ini Yogyakarta. Tapi, saya mengapresiasi upaya untuk memperkenalkan beberapa situs megah disana, misalnya dengan menggunakan Candi Sewu dan Istana Ratu Boko di dalam beberapa adegan disana. Secara pengemasan setting, kesan ambisius amat terasa, misalnya seperti pembuatan edisi kegiatan wisuda yang tidak dikemas abal-abal ala sinetron lokal. Oh iya, markas protagonis yang terkesan rahasia juga dikemas menarik kok.
Melihat ceritanya, saya menyukai bagaimana pengemasan dialognya yang mencampurkan bahasa Jawa, yang menurut saya akan menjadi ciri khas dari superhero lokal ini. Namun, dari segi penceritaan, sering terjadi hal-hal dalam adegan yang berupaya memberikan selingan, tetapi sayangnya kurang nendang. Misalnya ketika adegan berkelahi yang diinterupsi dengan adegan mengambil sapu oleh seorang Ibu, ataupun ketika sang antagonis utama menghentikan adegan drama keluarga.
Berdurasi lebih dari 2 jam, “Satria Dewa Gatotkaca” terasa seperti menyaksikan campuran beberapa tema. Ada kalanya saya merasa film ini terasa menyontek kemasan franchise ‘Avengers,’ tetapi kadang ada kalanya terasa menikmati laga sinetron, yang kemudian berakhir dengan pertarungan ala ‘Godzilla’ Jepang dengan kemasan tokukatsu.
Secara penampilan, sebetulnya tidak ada yang salah dengan ensemble cast-nya. Namun yang saya apresiasi adalah aksi Yatie Surachman dan Cecep Arif Rahman, yang berdialog dengan bahasa isyarat. Akan tetapi, sayangnya tidak ada subtitle yang mengartikan layaknya ketika kita menyaksikan Best Picture terbaru “CODA.” Untung, ada karakter Gege yang diperankan Ali Fikry yang kadang menjadi penerjemah, sekaligus penambah keseruan ceritanya. Oh iya, di film ini saya cukup ilfeel dan risih sama satu karakter Quinn, yang diperankan Zsazsa Utari. Saya bingung kegunaan karakter ini dihadirkan, sebab Ia tidak memiliki fungsi guna dalam ceritanya, dan malah jadi peramai tidak penting yang tidak diharapkan. Sorry Zsazsa, ini bukan karena aktingnya.
Ketika menggali informasi film ini, seharusnya installment pertama dari ‘Satria Dewa’ ini menjadi film yang dirilis pada tahun 2020 kemarin, yang kemudian akan dilanjutkan dengan beberapa film lanjutan lewat karakter superhero yang lain. Akan tetapi, entah kenapa, walaupun ceritanya ditutup ala film-film superhero Marvel, “Satria Dewa: Gatotkaca” tidak mampu memantikkan kesan kalau saya harus menantikan film superhero selanjutnya.
Walaupun secara keseluruhan terasa ambisius, film ini tidak sebaik rasa ambisiusnya. Baiknya, ini bukan film yang jelek kok. Saya lumayan bisa menikmati ceritanya, terutama laga dengan plot yang sedikit tertebak. Tapi, jikalau bisa dibandingkan dengan “Gundala” dari Joko Anwar, saya masih memfavoritkan versi Anwar. Saya malah menanti kapan “Gundala” mau dilanjutkan. Kalau yang ini, mungkin saya masih akan pikir-pikir lagi.