Apa yang terjadi bila adanya serangan parasit yang berusaha untuk menguasai dunia manusia? Kali ini, saya akan membahas sebuah live action yang berasal dari sebuah manga karya Hitoshi Iwaaki yang berjudul “Parasyte” atau dikenal juga sebagai Kiseijû. Film ini dirilis sejak 30 Oktober 2014, dalam special screening world premiere pada 27th Tokyo International Film Festival.
Semua berawal ketika adanya serangan makhluk-makhluk parasit, yang wujudnya agak mirip dengan kaki seribu, yang dikirim ke bumi. Setiap parasit harus mencari inang mereka, dimana manusia menjadi target objek, dan mereka berusaha untuk menguasai otak manusia dengan masuk melalui lubang telinga ataupun lubang hidung.
Namun, dari sekian parasit yang berhasil, ada satu yang gagal. Yang gagal ini mencoba untuk masuk ke lubang telinga seorang siswa bernama Shinici Izumi, yang diperankan oleh Shota Sometani. Apa daya karena Shinici saat itu sedang menggunakan headset, dengan terpaksa parasit ini hanya berhasil masuk ke dalam tangan kanan Shinici. Parasit ini kemudian memberi dirinya nama Migi, yang dalam bahasa Jepang berarti “kanan.”
Migi tidak seberuntung parasit lainnya. Parasit yang berhasil ternyata membawa malapetaka, mereka memakan manusia. Banyak terjadi pembunuhan misterius yang dilakukan oleh para parasit ini. Hebatnya, demi bertahan hidup mereka menyamar menjadi berbagai lapisan di masyarakat. Mulai dari pengacara, polisi, hingga seorang guru kimia baru di sekolah Shinici, yang bernama Ryoko Tamiya, yang diperankan oleh Eri Fukatsu. Yang menarik sosok Ryoko pada kali ini tidak menjadi tokoh antagonis, sebab sebetulnya Ia sedang menjalankan eksperimen agar dapat memecahkan solusi bagi para parasit untuk dapat hidup dengan manusia, serta menjadikan Shinici dan Migi sebagai salah satu specimen bagaimana keduanya mampu untuk menyatukan sel mereka.
Film ini disutradarai oleh Takashi Yamazaki, yang cukup berhasil untuk mengaduk penonton dengan menanyakan sebuah horror gore yang dikemas dengan perpaduan komedi dewasa dan sedikit drama. Menariknya, walaupun cukup dipenuhi dengan disturbing moment disana-sini, film ini masih dapat membuat penontonnya tertawa, walaupun kadangkala sedang berada di titik menegangkan.
Film ini diawali dengan sebuah pemikiran dari sudut pandang parasit, yang menjelaskan bahwa ketika memusnahkan 99% populasi dunia berarti kita menyelamatkan bumi dengan mengurangi kerusakan dan polusi sebesar 99%. Sebuah nalar logika secara matematis yang dapat diterima, namun tidak masuk akal dari sisi rasionalitas manusia. Dampaknya, dengan pemikiran tersebut parasit-parasit ini cukup tak karuan dalam menjalankan aksi jahatnya pada manusia.
Bicara tentang pengembangan film ini, sebetulnya telah dilakukan sejak lama. Awalnya, Hollywood melalui New Line Cinema sempat tertarik dan telah memiliki hak cipta untuk mengadaptasi kisahnya menjadi sebuah live action sejak tahun 2005. Sayangnya, hingga di akhir 2013, ketika hak tersebut habis masanya, Studio film Toho mendapatkan kesempatan untuk merilis kisahnya yang dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama diluncurkan pada November 2014, dan dilanjutkan pada bagian kedua di April 2015. Pada bagian pertama ini kisah film memang terlihat terfokus pada lingkungan mikro Shinici. Serta terlihat pada ending film ini, lanjutannya akan terpusat pada bagian makro, yang punya dampak lebih luas.
Sebagai seseorang yang bukan pecinta anime, saya cukup menikmati versi live action ini karena alur ceritanya yang cukup mengalir dan selalu menimbulkan pertanyaan tentang jalan cerita selanjutnya. Ditambah dengan tatanan suara yang penuh teror dan mencengkeram penonton, film ini hadir dengan adegan-adegan gore yang sebetulnya tidak akan membuat anda menutup wajah karena terlalu sadis.
Yang pasti, dari pengalaman saya, sejijik-jijiknya film ini memang masih lebih jijik film ini dibanding menyaksikan seri “Saw”, kalau dipikir-pikir. Namun film ini menampilkan dengan cara yang tidak akan membuat penonton jijik. Sebagai sebuah saran, Anda sebaiknya tidak menyaksikan film ini dengan snack ataupun popcorn. Bila Anda berani, mungkin nasibnya akan seperti saya yang kadang harus menunda mengkonsumsi selama menonton karena adegan-adegan potong-memotong hingga darah yang dimana-mana.
Saya cukup menikmati akting yang diperlihatkan oleh Shota Sometani, yang cukup menampilkan karakter Shinici yang kadang terlihat kocak dan kadang serius. Tetapi karakter Ryoko yang diperankan Eri Fukatsu cukup mencuri perhatian sepanjang film ini. Karakter antagonis dengan wajah yang dingin, suara yang datar dan misterus, cukup berhasil dilakukan Fukatsu dan memang cukup menyeramkan bila dipikir-pikir.
Secara keseluruhan, film ini tampil sebagai sebuah adaptasi yang menarik. Saya cukup menikmati film ini secara keseluruhan, terutama bagaimana film ini bisa memvisualisasikan efek parasit, seperti membelah-belah kepala, yang membuat saya bertanya-tanya hingga kini. Visualisasi yang disajikan cukup rapi, terutama pada tangan kanan Shinici yang terus saya amati dari awal hingga akhir. Yang pasti, saya masih bertanya-tanya kelanjutan cerita yang terjadi, serta nasib akhir Shinici dan Migi di akhir kisah mereka pada film berikutnya.