Berawal ingin menyelesaikan rasa penasaran dari trailer yang sering muncul, “A World Without” hadir sebagai lelucon buat saya. Sebagai film terbaru dari Nia Di Nata, film ini seakan membangun sebuah cerita misteri tentang The Light, sebuah organisasi yang mengemas banyak anak muda untuk menemukan jodoh plus dengan penyiapan masa depan mereka. Sounds too cool? Don’t expect too much.
Terpilih menjadi batch terbaru The Light, serombongan anak muda dibawa oleh sebuah bus menuju sebuah vila besar yang akan menjadi homebase mereka selanjutnya. Salina, diperankan oleh Amanda Rawles, terasa amat gembira. Di usia ke-16, Ia berhasil terpilih bersama kedua sahabatnya di The Light, Ulfah dan Tara, diperankan oleh Maizura dan Asmara Abigail. Ketiga berharap dengan program matchmaking rancangan pendiri The Light, yang diklaim mampu berhasil menciptakan pasangan-pasangan kompatibel.
Pendiri The Light, Ali Khan dan Sofia, yang diperankan oleh Chicco Jerikho dan Ayushita, adalah pasangan famous yang terbilang sukses lewat program yayasan mereka ini. Dengan semangat yang amat mulia, keduanya hadir untuk memukau para remaja muda di depan mereka. Ini belum ditambah dengan beragam kesempatan yang ditawarkan The Light, yang membuat para remaja vulnerable semakin bersemangat untuk berada disana. Akan tetapi, ada satu syarat: Laki-laki dan perempuan tidak boleh berpacaran. Mereka hanya boleh berinteraksi ketika berkaitan dengan pekerjaan saja.
Apa yang ingin dihadirkan oleh Nia Di Nata dan Lucky Kuswandi di film ini memang terasa cukup dipenuhi dengan campaign semangat feminis seperti hentikan kekerasan perempuan, anti poligami, sampai realita kekerasan di dalam rumah tangga. Kesemuanya itu meliputi cerita yang bersetting dengan pemeran utama yang masih 17 tahun. Bukan berarti saya tidak setuju, tema kehamilan remaja “Dua Garis Biru” dengan mengusung cerita kehamilan remaja saja bisa berhasil. Saya tidak anti feminis, namun kesannya seperi agak dipaksakan. Disini? Jadinya seperti pisang goreng kremes yang masih panas dimasukkan dalam kotak. Lempem sok kriuk.
Bicara plot, sedari awal film ini sudah seperti memberikan kita banyak kode kalau ada yang tidak beres dengan The Light. Kesan yang dibangun terus membuat kita jadi berpikir macam-macam, yang pada akhirnya cuma memberikan kesan: ‘Oh, gitu aja. Lebay!’ Ini yang terjadi. The Light seakan dibangun sebagai se-berbahaya itu tetapi yang tidak seberbahaya yang saya duga. Dalam bayangan saya, The Light mungkin seperti ‘Squid Game’ yang terdapat unsur penjualan organ manusia, ataupun misalnya jasa melahirkan ilegal. Maaf kalau pikiran saya sudah setinggi itu. Bukan berarti saya tidak mengatakan The Light tidak jahat, ya mereka memang jahat, namun pengemasan hiperbolanya memang luar biasa.
Secara alur cerita, semakin kesana, film ini seperti membawa kita ke dalam cerita renyah dari novel misteri remaja yang tipis itu. Nyesel. Satu kata yang menggambarkan saya. Saya tidak bilang jika penampilan di film ini jelek. Sama sekali enggak. Sepanjang film, sama cukup terbuai dengan penampilan Ayushita yang semakin matang. Klo Chicco, ya semua juga sudah tau dengan kualitas yang tidak perlu diragukan.
Dengan setting yang banyak dilakukan di Villa Isola, salah satu heritage di Bandung, ataupun di Wot Batu, film ini sebetulnya terasa menjanjikan. Sayang, cerita yang remeh temeh membuat saya terngiang bila usaha penyajiannya terasa terlalu ambisius, dan berakhir dengan kesan menye-menye. Upaya membangun kesan cult lewat misteri yang dihadirkan sepanjang film, berubah total jadi seperti Film B. Ini yang amat saya sayangkan. Ini merupakan film terburuk Nia Di Nata.
Sayangi waktu Anda. Untuk kali ini, saya merekomendasikan Anda untuk tidak menyaksikan “A World Without.” Sekali lagi, Sayangi waktu Anda.