Salah satu keunggulan film thriller itu adalah penonton selalu dikejutkan dengan teror atau ancaman. Memang biasanya genre ini sering dikombinasikan dengan horror seperti “The Conjuring 2,” ataupun model-model crime seperti “Ready or Not.” Kali ini, saya ingin mengajak Anda untuk membahas salah satu film yang baru dirilis secara global berjudul “Whelm.” Film ini akan membawa kita ke masa great depression, dengan mengikuti cerita dari sepasang kakak beradik.
Secara garis besar, “Whelm” terdiri dari 13 bab pendek. Ceritanya terpusat pada karakter Reed dan August, diperankan oleh Ronan Colfer dan Dylan Grunn, yang rupanya terjebak di dalam permainan seorang perampok bank bernama Alexander Aleksy, yang diperankan oleh Delil Baran, dengan seorang penjahat muda bernama Alden, yang diperankan oleh Jacob Eaton. Cerita yang akan membawa penonton dari pencarian karakter yang satu ke karakter yang lain, sebetulnya membuat saya agak terputar-terputar dengan kesan ‘kok gitu aja repot.’
Film ini sendiri ditulis dan disutradarai oleh Skyler Lawson, dan merupakan debut featured film pertamanya setelah beberapa kali menyutradarai 4 film pendek. Saking hebatnya, Lawson tidak hanya bertindak sebagai sutradara dan penulis naskahnya. Ia bertindak juga disini sebagai editor, composer dan producer. Ini benar-benar lengkap. Sedikit mengingatkan saya pada sosok James Cameron yang juga multitalent seperti saat Ia menggarap salah satu film terbaik sepanjang masa, “Titanic.”
Sebagai sebuah debut, “Whelm” dikemas dengan begitu ambisius. Ini terlihat dari bagaimana film ini dengan begitu menggelegar lewat aspek sound yang saya rasa begitu menonjol dari awal. Begitupula dengan sinematografi dari Edward Herrera yang membuat kita akan menyikapi setiap adegannya bak film-film buatan Nolan ataupun Paul Thomas Anderson.
Akan tetapi, ada yang sedikit bermasalah buat saya saat menyaksikan film ini. It’s not my cup of tea at all. Secara visualisasi menawan, namun aspek cerita masih terasa amat kurang menggigit. Dari sisi penampilan, saya merasa sosok Aleksy yang diperankan oleh Delil Baran yang paling menonjol. Sisanya, ya begitu saja.
Ada satu faktor penting lain yang saya rasa perlu diperhatikan. Ketika kita menyaksikan film thriller, ini tidak berarti keseluruhan adegan akan terus thrilling, pasti akan ada jeda sedikit sebelum masuk ke ketegangan berikutnya. Saya merasa “Whelm” agak kurang tepat dalam menyajikan score-nya. Ada beberapa adegan-adegan yang tidak menegangkan pun seakan dipaksa untuk begitu menegangkan lewat score film ini. Misalnya ketika adegan percakapan yang terasa tidak punya poin klimaks, malah dibuat seakan-akan menegangkan, dan in the end malah jadi sebuah yang hiperbolic buat saya. Ini yang amat mengecewakan.
Satu lagi, ada hal yang saya kurang pahami dengan setting ceritanya. Saya mungkin tidak terlalu mengerti akan set yang dipilih, apakah memang di sebuah kota kecil atau terpencil, yang pasti “Whelm” seakan hidup sebagai panggung dramanya sendiri. Saya kurang melihat adanya sosok-sosok extras lain yang dapat menggambarkan kehidupan dalam setnya. Sehingga pada setiap adegan, akan kadang terasa dilakukan pada sebuah kota mati atau kota jarang penduduknya. Saya membayangkan andai saja ada banyak extras yang dikerahkan, mungkin akan terasa lebih realis serta cerita yang digarap bisa semakin kompleks.
Akhir kata, “Whelm” terbilang memikat pada shot-shot dan kejernihan suaranya, namun sayangnya kurang begitu menonjol dari segi cerita.
Whelm telah di release dalam platform digital sejak 13 Agustus 2021. Pada tanggal 13-21 Agustus 2021, film ini ditayangkan dalam format 35mm yang akan dimulai di Fine Arts Theatre Beverly Hills. Untuk informasi lanjutnya dapat dilihat disini.