Mengemas kembali sajian drama fenomenal yang meraih Tony Awards, terbilang jadi beban yang lumayan berat. Apalagi ditambah dengan kesan queer classic dari featured film William Friedkin berjudul sama di tahun 1970, memberi tambahan ekspektasi yang cukup besar. Begitulah “The Boys in the Band,” sebuah sajian queer drama yang akan membawa kita ke dalam sebuah babak drama pesta ulang tahun dengan tamu tak terduga.
Awal film ini membuka dengan potongan-potongan para tokoh yang nantinya akan terlibat. Setelah masuk ke menit beberapa belas, saya baru mendengar sebutan nama pemeran utamanya, Michael, diperankan oleh Jim Parsons, setelah mendengar beragam ocehan Ia saat bersama kekasihnya, Donald, yang diperankan oleh Matt Bomer. Michael merupakan seorang homoseksual yang detil, flamboyan, perfeksionis sekaligus punya gengsi besar. Ia akan terlihat fashionable, walaupun semua hal tersebut belum lunas. Berbeda di lain pihak, Donald, tampak biasa-biasa saja, lebih sleboran namun seorang pekerja keras.
Michael dan Donald sebetulnya sedang menunggu kedatangan rekan-rekan lainnya. Di malam nanti, mereka akan merayakan ulang tahun Harold, salah satu sahabat mereka, yang nantinya diperankan Zachary Quinto, yang sebetulnya se-komunitas. Rekan-rekan yang diundang pun sama, se-komunitas. Suatu saat, Alan, diperankan oleh Brian Hutchinson, menelepon Michael. Sambil menangis, Ia meminta untuk bertemu dengannya ketika Alan sebentar lagi akan memulai gay birthday party-nya.
Singkat kisah. Datanglah sepasang kekasih Hank dan Larry, diperankan oleh Tuc Watkins dan Andrew Rannells, berserta Emory, yang paling feminin diantara mereka yang diperankan oleh Robin de Jesus. Seketika, Michael menjadi panik. Ia tahu betul bagaimana Alan yang merupakan heteroseksual, pasti akan kepalang shock untuk bertemu dengan teman-teman gay-nya.
Apalagi, Michael menutupi status orientasi seksual. Maklum, Alan adalah teman dari masa universitas, di masa Michael dengan sempurna bisa menutupi homoseksualitasnya. Ia pun memberitahukan kepada semua partisipan yang sudah hadir untuk berlaku sebaik mungkin. Dalam arti, jangan sampai membuat Alan mencium ini jika pesta mereka adalah pesta gay, termasuk perilaku-perilaku feminin mereka. Tak lama kemudian, Alan menelepon Michael. Kali ini, Ia memberitahu jika Ia tidak jadi bertemu dengannya. Akan tetapi, ternyata Alan benar-benar datang. Drama pesta ulang tahun pun dimulai!
Jika anda sensitif dengan topik homoseksual, warning pertama saya adalah : ‘jangan tonton film ini.’ Ini lebih baik ketimbang Anda merasa risih nantinya. Fakta menariknya, versi 1970-nya adalah film pertama yang menjadikan ‘cunt’ sebagai makian. Kalau di film ini, jika tidak salah menghitungnya, ada sekitar 3x yang diucapkan Michael. Dan inilah yang menjadikan “The Boys in the Band” as one of the queer classic.
Kembali ngomongin plotnya. Berbekal durasi 121 menit, apa yang dihadirkan tak kurang dari sebuah sajian drama hebat. Penonton harus siap menikmati kekuatan dialog dan karakterisasi dari naskah skenario Mart Crowley dan Ned Martel. Crowley, yang baru meninggal di awal 2020 ini, merupakan pengarang cerita aslinya. Secara setting, film ini berkisah di Manhattan, yang mayoritas besar diambil di set apartemen Michael. Lewat sajian plot yang pelan, film ini punya kualitas storytelling yang mengesankan. Saya amat menikmati bagaimana film ini bisa berjalan begitu dinamis, ketika kamera terus bergerak kesana-kemari sambil kita menikmati detil-detil dari dialog yang kian lama menggambarkan karakter masing-masing. Pemanfaatan seperti kaca ataupun ruang-ruang kosong di dalam pengambilan shot terbilang cukup dimaksimalkan. Two thumbs up buat Bill Pope, sinematografer film ini.
Kalau dipikir, nonton 2 jam memperhatikan orang ngoceh-ngoceh, rasanya pasti bosen kan? Yang saya rasakan sebaliknya. Film ini berhasil menguliti beragam kejadian di sebuah set dengan rapi dan terkendali, dalam arti setiap gerak gerik masing-masing karakter masih mudah untuk ditangkap kamera dan dipahami penonton. Tentu kompleksitas situasi yang digambarkan Crowley terasa berhasil di sampaikan dari penyutradaraan yang baik dari Joe Mantello. Pastinya, ini film dewasa. Akan ada beberapa full frontal nudity yang mungkin tidak ada di versi terdahulu.
Awalnya, saya berpikir karena banyaknya karakter di film ini, ya lebih sedikit dari “12 Angry Men,” apakah mungkin karakter masing-masing ini akan punya porsi yang sama? Ternyata, sosok Harold dan Michael akan cukup menguasai, namun yang lainnya tetap punya jatah durasi. Saya salut dengan penampilan Jim Parsons disini. Parsons memasang sebuah standar untuk jadi sebagai salah satu contender di awards season mendatang, walaupun masih terasa terlalu dini. Cuma, dinamika yang diperlihatkan dari awal sampai bagian akhir, tetap membuat gemas. Parsons pantas disebut sebagai drama king disini.
Baiknya, Zachary Quinto jadi sosok penyeimbang yang cukup baik. Perkataan berisi uneg-uneg dan saling menjatuhkan lewat dialog mereka yang berbobot, membuat saya berada di sebuah diskusi debat kusir antar ilmuwan. Keduanya sebetulnya punya standing position yang serupa, namun adu tangkis yang diberikan Harold terasa cukup halus disaat Michael mulai bermain lewat emosi. Dari sisi pendukung lainnya, salah satu performance yang amat cukup mencuri perhatian adalah karakter Emory, yang diperankan de Jesus dengan cukup ceplas ceplos.
Dari sudut pendukung, sound effect film ini juga terbilang piawai untuk mendramatisir beberapa penekakan. Terutama, yang masih teringat dibenak saya ketika Harold baru tiba di depan pintu apartemen Michael dengan suara batang rokok yang dimatikan. Wusss. Oh iya, musik film ini juga banyak menggunakan hits 60-an, terutama beberapa hits Motown seperti “Heat Wave,” “I Heard through the Grapevine” sampaI hits Burt Bacharach “The Look of Love.” Kombinasi classy yang terasa pas dengan eranya, dengan sedikit campuran jazzy dan funk.
“The Boys in the Band” berhasil melewati ekspektasi saya. Film ini mengingatkan bahwa ada lho film-film berdialog dengan pace pelan yang bisa dinikmati dengan menyenangkan dan menghibur. Terutama kesan satir, serta eksplorasi cerita yang bisa membahas banyak hal: komitmen, dignity, sampai agama. Walaupun di masa sekarang ngomongin gender terasa sudah bermakna fluid, namun kesan insecure yang diperlihatkan oleh Michael seharusnya masih mengena hingga kini. Begitu juga ketika film ini ngebahas hal-hal sederhana yang mengkritisi tentang heteroseksual, seperti upaya bersuara dalam, maupun pengucapan he/she yang harus berdasarkan jenis kelamin.
Sekali lagi, “The Boys in the Band” bukan tontonan untuk semua. Sajian Netflix yang satu ini ternyata fenomenal. Ada kesan komedi atau nyinyir yang masih bisa membuat kita tertawa kok. Ada sebuah kutipan di film ini tapi seperti menggambarkan film ini, “One thing you can say from masturbation, you certainly don’t have to look your best.” But, they did it. Applause!