Konon katanya, cinta pertama adalah pengalaman jatuh cinta yang tidak mudah dilupakan. Apalagi kalau itu adalah love at the first sight… Uaaahh…. Seperti di film yang akan saya bahas. Berjudul “Tag-ulan Sa Tag-araw” aka ‘Summer Rains,’ kita akan dibawa ke sebuah cerita cinta pertama sepasang sejoli yang ternyata sudah bertemu kabut tebal sedari awal.
Rod, diperankan oleh Christopher De Leon, adalah seorang pemuda pedesaan yang sebentar lagi melanjutkan pendidikan high school-nya di Manila. Spesialnya, Ia dijemput oleh Paman Julio dan Bibi Marina, diperankan oleh Eddie Garcia dan Lorli Villaneuva, dengan menggunakan mobil mereka. Paman Julio sendiri adalah saudara laki-laki ayahnya, yang terbilang sukses menjadi pengacara. Ini berbeda jauh dengan ayah Rod, yang cuma bekerja dari bertani. Hasil kerja keras lahan merekalah yang membuat Ayahnya membela-belakan Rod untuk mendapatkan pendidikan lebih tinggi. Seperti yang sudah tidak asing di telinga kita: pendidikan adalah alat melawan kemiskinan.
Dalam perjalanannya, rombongan Rod ternyata sekaligus singgah di sebuah pantai. Rod yang seorang diri di pantai, tiba-tiba melihat sekerumunan perempuan yang sedang bermain air di kejauhan. Lalu, hadir sosok seorang perempuan mungil, yang terlihat ceria, sedang berjalan ke arahnya sambil membawa Scoopy, anjing miliknya. Perkenalan Rod pun dimulai. Gadis di depan wajahnya ternyata memegang erat tangannya. Ia bernama Nanette, diperankan oleh Vilma Santos. Tak lama, keduanya yang kesepian seakan menemukan belahan jiwa yang hilang. Mereka mengungkapkan perasaan mereka satu sama lain. Akan tetapi, tak lama, dari ujung bukit di ketinggian Paman Julio dan Bibi Marina memanggil keduanya. Ternyata, mereka sepupuan. OMG!
Secara sekilas, premis yang saya ceritakan dalam paragraf sebelumnya adalah bagaimana “Tag-ulan Sa Tag-Araw” memulai ceritanya untuk mengejutkan penonton. Dari sana, terbenam di pikiran saya adalah bagaimana cerita ini akan berlanjut, yang kini sudah tertanam beragam kemungkinan jikalau film ini akan berjalan dengan cerita-cerita romantis sedih layaknya “Romeo and Juliet.”
Bicara plotnya, dengan penceritaan sepanjang 2 jam lebih, cerita yang ditulis oleh Celso Ad. Castillo bersama Mauro Gia Samonte ini terbilang seperti sebuah kombinasi yang menarik. Kontrasnya latar belakang keduanya, dibalut dengan konflik percintaan sedarah, ditambah pergulatan batin keduanya untuk melawan cinta terlarang mereka.
Kalo kamu engga pernah jatuh cinta, mendingan kamu engga usah nonton film ini. Kamu engga akan dapet feel bagaimana keduanya melawan perasaan mereka demi tidak terjerumus dari hal yang sebetulnya tidak diharapkan semuanya. Tapi, itulah cinta. Cinta itu buta, yang bisa mengubah sesuatu yang busuk terasa nikmat. Ya kan? Nah, Castillo dan Samonte terbilang cukup apik untuk mengemas ceritanya, memperlihatkan kita dengan bagaimana keadaan high school di jaman 70-an, sekaligus besarnya determinasi seorang Rod dalam melawan nan sekaligus mempertahankan cintanya. Kayaknya nanti enggak akan jadi worth jika semua main plot diceritakan disini. Yang pasti, cerita pergulatan batin keduanya hanya seperti chapter kedua, sebelum masuk ke babak yang lebih keruh.
Dari sisi penampilan, saya amat menikmati chemistry De Leon dan Santos. Terutama Santos, lewat tampilan rambut pixie cut sekaligus penampilannya yang mungil dan usianya yang masih sangat muda di film ini. Memerankan karakter Nanette, awalnya mungkin terasa biasa saja mengingat Ia tidak hadir se-georgeous Scarlett Johansson yang pasti langsung membius para lelaki. Akan tetapi, lambat laun, pesona Santos terutama bagaimana kualitas akting yang dihadirkan semakin terasa seiring cerita berjalan.
Kalau keduanya, saya amat menikmati saat adegan hujan. Hujan seperti tak mampu untuk menangkis kasmaran keduanya, dan malah menjadi momen yang berkesan. Mereka tak peduli baju mereka basah kuyup, ataupun buku pelajaran dan barang lainnya. Oh ya, “Tag-ulan Sa Tag-Araw” berarti ‘Hujan di Musim Panas.’ Di film ini sendiri, Anda akan menyaksikan banyak adegan hujan buatan yang sekaligus mewarnai petualangan asmara keduanya. Yang cukup bikin penasaran adalah ketika keduanya melakukan rekonsiliasi di tengah hujan, lalu ditutupi ranting besar yang membuat saya bertanya-tanya dibalik dialog keduanya yang terus berjalan. Maafkan kekepoan ini.
Untuk ukuran pendukung, saya menyukai karakterisasi Paman Julio, yang sebetulnya punya sosok ramah dan sabar, tapi klo udah meledak, ya ga nahan galaknya. Begitu juga Bibi Marina, yang sepertinya punya latar belakang orang gunung, senang ngomel-ngomel dengan nada yang keras, tapi sebetulnya baik hati.
Film ini adalah salah satu film yang termasuk dari ratusan yang menjadi bagian dari ‘Sagip Pelikula’ – sebuah program inisiatif ABS-CBN untuk menyelamatkan film-film Filipina yang hampir dimakan zaman. Usaha restorasi ‘Tag-ulan Sa Tag-araw’ sendiri masih terbilang patut diapresiasi. Jika Anda menyaksikan versi restorasi seperti yang saya saksikan, masih terlihat jelas ada banyak bagian yang sepertinya rusak parah, dalam arti seperti scratch, yang mana sulit dihilangkan dari film yang banyak punya unsur adegan hujan.
Belum ditambah dengan kualitas warna yang menjadi semakin kearah Magenta, seperti yang dijelaskan oleh paragraf pembuka penyajian film ini. Cuma, hasil restorasi ini masih membuat kita menikmati cerita ‘Tag-ulan Sa Tag-araw’ dan berhasil menyelamatkan film ini dari status lost film. Restorasi film ini engga main-main, studio laboratorium dari Italia, L’Immagine Ritrovata, dilibatkan. Kalau kalian ingat, laboratorium inilah yang juga turut serta merestorasi film “Lewat Djam Malam” dari Usmar Ismail.
Secara keseluruhan “Tag-ulan Sa Tag-araw” adalah romansa klasik yang menawan. Soundtrack film ini berhasil jadi pemanis seperti kita menyaksikan betapa romantis sekaligus tragisnya “Love Story.” Yang pasti, lewat film ini kita kembali diingatkan betapa cinta mampu ‘menghalalkan segala cara’ sehingga kita perlu semakin cerdik sebelum Ia menjerumuskan kita ke hal yang semakin membuat semuanya runyam. Mungkin langkah yang paling jitu adalah seperti kata pepatah: ‘mencegah lebih baik daripada mengobati;’ atau seperti kata sahabat saya: ‘kalau udah beda paspor (aka agama), auto coret.’ Sisanya, ya dikembalikan lagi masing-masing ke Anda bagaimana enaknya. Hahaha…