Mundurnya Paus Benediktus XVI pada February 2013 silam, memberikan sebuah kejutan yang tak terduga. Pasalnya, hampir lebih dari 700 tahun masa kepemimpinan Paus belum ada lagi Paus yang melakukan pengunduran diri semenjak Celestine V. Konklaf Vatikan kemudian dilakukan, dan memilih Jorge Mario Bergoglio, kardinal asal Buenos Aires untuk menjadi Paus terbaru. Dalam besutan dokumenter, sutradara Wim Wenders mengangkat sepak terjang Paus Francis sebagai pemimpin agama di masa modern ini.
Paus Francis adalah orang pertama yang menggunakan nama Santo Francis of Asisi. Sebagai Paus Vatican ke-266, Ia juga merupakan beberapa pemecah rekor. Ia adalah Paus pertama dari kalangan Jesuit. Ia juga merupakan orang dari Benua Amerika pertama yang menjadi Paus. Pemilihan nama Francis sendiri juga tidak lepas dari bagaimana Paus Francis melihat yang miskin. Dalam pemaparannya, yang termiskin di dunia ini tak lain adalah ‘mother earth’ yang selalu dieksploitasi orang.
Dari pemikiran ini, sejalan dengan apa yang diyakini Asisi bagaimana Ia hidup dalam kesederhaan, bersahabat dengan alam, dan merupakan seorang pendamai. Sebagai tambahan, karakter Asisi yang kemudian diperankan oleh Ignazio Oliva, mereka ulang tentang kisah perjalanannya, salah satunya untuk melakukan perdamaian di masa perang salib dengan Sultan Mesir, yang diselimuti dengan narasi serta suara dari percakapan dengan Santo Francis.
Film ini akan membawa penonton ke dalam 96 menit yang dikemas cukup padat, dan memperlihatkan bagaimana pemikiran dan pandangan Paus Francis akan berbagai dinamika yang terjadi. Dalam masa kepemimpinannya yang baru menduduki tahun kelima, Paus Francis telah berkeliling antar benua untuk membawa pesan damai. Mulai dari mengunjungi orang sakit, para tahanan di penjara, sampai masuk sebagai tamu untuk kongres di Amerika Serikat ataupun PBB.
Yang saya sukai, sebagai seseorang pemimpin berpengaruh, Paus Francis hadir sebagai sosok yang menentang ekslusivitasan. Kita melihat bagaimana Ia menyemangati kelompok pengungsi asal Suriah di Perancis, sampai bagaimana Ia mengingatkan para anggota kongres Amerika tentang semangat Amerika: “We must not taken aback as number, but rather view them as persons, seeing their faces, and listening to their stories. We, the people of this continet, are not fearful of foreigners, because most of us were once foreigners. Let us remember the Golden Rule: ‘Do unto others, as you would have them unto you.’”
Wim Wenders, sutradara film ini menghadirkan sebuah potret yang begitu menarik. Paus yang sederhana, terbuka dan merangkul dengan siapapun, yang mengingatkan kita betapa pentingnya menjaga keselarasan dalam hidup. Tak hanya menjaga bumi, tetapi juga sesama. Sebagai penonton, akan ada banyak hal dan pandangan Paus Francis yang tak hanya menarik, tapi berbekas. Saya menikmati bagaimana pidato-pidatonya bisa menyentil kita dari kalimat yang sederhana.
Tentu, sebagai pemuka salah satu agama terbesar di dunia yang cukup berpengaruh, senjata kita untuk mendamaikan dunia bukanlah dari adu otot. Tetapi lewat pelayanan, yang memperlihatkan sosok pemimpin yang mau melayani serta menjadi teladan dari kesehariannya. Saya menggaris bawahi bagaimana Paus Francis menekankan posisi gereja Kristus yang tidak terfokus dengan kesejahteraan dan material, tetapi lebih terfokus pada pusat injil: melayani yang miskin.
“As long as the church is placing its hope on wealth, Jesus is not there. It’s an NGO, for charity or culture, but it’s not the church of Jesus.” Dari sini saya teringat dengan gereja di media massa yang baru-baru mempermasalahkan pendapatan yang menurun akibat pandemi COVID-19. Mengaitkan hal tersebut, tentu sangat amat disayangkan bila gereja modern seperti itu malah kehilangan rohnya dan selayaknya menjadi NGO, mengutip kata Paus Francis.
Tapi, dari semuanya itu, yang paling berkesan buat saya adalah ketika Paus Francis menjelaskan mengapa anak-anak menderita. Ia menjawab jika Anak dari Allah pun disalib, yang kemudian dilanjutkan dengan pemahaman perkenanan Tuhan akan hal tersebut. Dari sana Ia menjelaskan semua itu dapat terjadi karena Tuhan menciptakan kita sebagai manusia dan Ia memberikan kebebasan untuk kita. Ia menghormati kebebasan, sebagaimana yang manusia lakukan ketika menganiaya Putra-Nya yang tunggal. Kebebasan tersebut akan membawa kita akan kasih. Without freedom we cannot love. Kebebasan itulah yang membuat kita bisa mau mencintai ataupun tak peduli dengan Tuhan.
Yang sedikit memalukan, saya sempat melihat Indonesia dari potongan-potongan footage di film ini. Sayangnya, yang dihadirkan malah tentang ketidakseimbangan manusia dengan alam, yang memperlihatkan tumpukan sampah di sebuah Tempat Pembuangan Akhir. Tahu darimana? Jelas, jika diperhatikan dari salah satu pemulung menggunakan baju bertuliskan ‘FBR Tim Air’ dan muka yang memang Indonesia. Hehe…
Akhir kata, “Pope Francis: A Man of His Words” tak hanya menghibur, tapi berhasil mencuci otak saya dengan pemikiran-pemikiran yang briliant. Terlepas apapun agama Anda, film ini tidak melakukan sebuah kristenisasi. Sebaliknya, film ini malah akan mengajarkan kita bagaimana selayaknya kita melihat isu-isu global saat ini. Paus Francis adalah salah satu contoh pemimpin dunia yang mampu berpikir jernih dalam menghadapi tantangan-tantangan global yang sensitif. Sosok yang patut diteladani. Powerful!