Hampir sebagian besar perempuan cukup serius dengan penampilan mereka, terutama bagaimana perawatan yang rutin sekaligus mengikuti tren kekinian, yang sudah jadi hal yang engga boleh absen. Kali ini kita akan bahas sedikit tentang rambut. Selayaknya desainer dengan baju pagelaran yang membahana, di balik hairstyling yang memukau pasti ada peran hairdresser yang piawai. Film pilihan saya kali ini jatuh ke screenplay debut Warren Beatty. Berjudul “Shampoo,” film ini sama sekali tidak akan membahas seperti judulnya, tapi akan membawa penonton ke sebuah komedi satir akan kehidupan seorang hairdresser.
Baru saja mulai, adegan sudah dibuka dengan sebuah adegan seks yang serba gelap, sambil tulisan-tulisan opening credits membuka film ini. Penonton kemudian akan menyaksikan sosok George, diperankan oleh Warren Beatty, yang sedang ‘asik-asiknya’ diganggu dengan bunyi dering telepon yang kemudian diangkatnya. Tidak hanya George, kita juga akan menyaksikan sosok Felicia, salah satu love interest George disini yang diperankan oleh Lee Grant. Seusai mengangkat telepon, George malah meninggalkan Felicia sambil meninggalkan sepatah gombal untuknya.
Pria berwajah tampan, tinggi dan fashionable ini, dengan motor cruiser tiba di sebuah rumah. Ia bertemu dengan perempuan yang kemudian akan kita kenali sebagai kekasihnya, yang bernama Jill, diperankan oleh Goldie Hawn. Ternyata panggilan tersebut Cuma sebatas panggilan ‘kangen’ Jill.
Singkat cerita, George mendapat usul dari Jill untuk mendapatkan pinjaman dari bank. Pinjaman ini dapat digunakan untuk membuka sebuah salon baru, berhubung saat ini Ia sudah memiliki banyak pelanggan sebagai hairdresser di Beverly Hills. Parahnya, Ia tidak memahami financial statement ataupun estimasi perhitungan yang dibutuhkan oleh bank. Akan tetapi, Felicia menawarkan suaminya, Lester, pengusaha kaya yang diperankan oleh Jack Warden, untuk mau berinvestasi pada George.
Disaat George menemui Lester di kantornya, tanpa sengaja pertemuan mereka diganggu oleh salah seorang pelanggan George. Jackie, begitu sebutannya, yang diperankan oleh Julie Walters, ternyata merupakan simpanan Lester. Dalam kelanjutan ceritanya, Lester kemudian mengajak George dan Jackie untuk dapat menghadiri sebuah pertemuan istimewa dengan seorang anggota senat, yang tanpa disadarinya akan membawa George ke dalam sebuah kejatuhan.
“Shampoo” menghadirkan cerita yang terkesan punya rasa yang sama ketika Anda menyadari situasi Anda saat ini fine-fine saja, kemudian tiba-tiba datanglah masalah yang mengacaukan kehidupan Anda, dan berakhir dengan sebuah pelajaran bermakna. Simpel-nya begitu. Film ini diarahkan oleh sutradara Hal Ashby, yang sebelumnya sudah sempat saya tonton karyanya melalui “Harold and Maude” yang terasa awkward classic love story. Disini, “Shampoo” hadir dengan tema cerita dewasa yang memperlihatkan bagaimana kehidupan bebas para manusia yang penuh dengan nafsu, namun sekaligus menyindir pemerintahan Nixon. Bila diperhatikan, cerita dalam film ini bersetting di tahun 1968, di saat beberapa hari menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat antara Nixon V. Humphrey. Sepanjang cerita, kisah “Shampoo” akan disertai dengan cuplikan-cuplikan pesan politik yang dihadirkan lewat tampilan suara radio ataupun tayang televisi yang ada di dalam set adegan.
Masih membahas ceritanya, korelasi yang dihadirkan film ini sebetulnya cukup seru, ketika George ternyata ‘menguasai’ hampir seluruh wanita yang ada di sekeliling Lester. Mulai dari istri, putri tunggalnya, sampai simpanannya. Yang menarik, kesan hairdresser pria yang kerapkali sering digambarkan sebagai queer ataupun gay terasa amat begitu mengenai pada Lester. Sehingga Ia sama sekali tidak menggubris dengan situasi yang sebetulnya terjadi.
Okay, saya tidak mau membocorkan ceritanya, namun apa yang benar-benar Anda akan saksikan dalam ‘Shampoo’ adalah bagaimana George menikmati pekerjaan, sekaligus memuaskan para langganannya, secara semu. Terlepas dari karakternya yang selalu kelihatan sok sibuk di salon, George seolah-olah tidak hidup sebagai dirinya. Ia seperti sudah terlalu banyak pikiran, dan hanya bisa akan bertutur manis demi menyenangkan clientele-nya.
Disini, kita menikmati bagaimana perempuan sangat menghargai akan perhatian. Tergambar jelas dari bagaimana Felicia berusaha mencari perhatian di luar, Jackie yang selalu ingin mencuri perhatian Lester, sampai sosok Jill yang selalu mencari perhatian demi bisa mendengar pendapat kekasihnya. Cocoknya, hal ini semua dipasangkan pada karakter George yang merupakan seorang yes man. Alhasil, tidak hanya membuat mereka semua menjadi cantik, namun Ia juga bisa memuaskan nafsunya.
Secara penceritaan, “Shampoo” punya kerangka cerita yang cukup menarik di pertengahan. Di bagian awal, kita akan cukup sibuk untuk mempelajari setiap karakter-karakternya, sebelum akan membuat ceritanya sangat menarik ketika memasuki pesta malam bersama Senator. Dari sini, fokus saya yang tadinya mulai terasa bosan langsung berubah ketika penggambaran situasi yang dirangkai terlihat rumit, namun berjalan dengan eksekusi yang sesuai harapan.
Dari sisi penampilan, Warren Beatty yang dalam masa keemasannya menghadirkan salah satu contoh karakter womanizer di era 70-an yang berhasil diperankan dengan baik. Akting Beatty yang banyak disandingkan dengan kekasihnya di film ini, Julie Christie, terbilang hadir cukup hot, ketika keduanya banyak tampil dalam adegan yang cukup panas. Mulai dari steamy session di rumah Jackie, sampai adegan seks keduanya yang kemudian jadi puncak karena pancaran lampu kulkas. Oh no!
Di sisi pendukung, wanita-wanita di film ini hadir begitu gorgeous. Mulai dari Lee Grant, yang berhasil meraih penghargaan Oscar untuk Aktris Pendukung Terbaik lewat film ini. Yang saya sukai, Grant bisa mencuri tatapan saya setiap Ia tampil. Ia jauh terlihat lebih muda dari usianya, dan benar-benar bisa menggambarkan apa yang kita sebut ‘wanita kesepian.’
Di sisi lain, Goldie Hawn yang memerankan sosok Jill terlihat jadi pemanis cerita yang lama-lama agak annoying buat saya. Lain cerita dengan debut Carrie Fisher di dunia perfilman, yang menjadi karakter Lorna, anak Lester dan Felicia, yang kemudian menggoda George. Sayangnya, karakter Lorna yang terlihat ketus dan hadir dengan dialog yang cukup dewasa membuat Debbie Reynolds, ibunda Fisher, untuk bersikap kurang menyukai peran yang diambil sang anak.
Oh iya, selain Grant, Hawn dan Fisher, kita tidak boleh melupakan penampilan Julie Christie disini. Awalnya, karakter Jackie di film ini terasa biasa saja, sampai ketika tiba-tiba Ia berubah menjadi disastrous di ceritanya. Sejak momen itu, Christie semakin menanggalkan tanda bahwa Ia merupakan love interest yang sepatutnya paling menguasai jalan cerita film ini. Dan ternyata Ia, sejak itu, Jackie menjadi the one and only yang menguasai cerita hingga akhir.
Film yang termasuk sebagai the highest grossing di tahun 1975 sebetulnya punya tawaran komedi satir yang kurang sedikit nendang buat saya. Memang sih, bila Anda memperhatikan penuturan saya, set karakterisasi dan penampilan yang sudah dibuat sebetulnya terasa matang. Unsur komedi film ini lebih condong dimainkan oleh Jack Warden sebagai Lester, serta satir politik Nixon yang mungkin akan kurang mengena buat penonton non-US. Terlepas demikian, tema cerita yang ditawarkan “Shampoo” terbilang masih relatable dengan situasi masa kini. Satisfying story about rise and fall life of a hairdresser!