Setelah cerita Lala dan Yudhi dalam “Posesif,” sinema remaja Indonesia kembali mendapat sorotan. Kali ini, salah satu penulis naskah kawakan, Ginatri S. Noer, memulai debutnya lewat sebuah “Dua Garis Biru,” yang sebetulnya telah digarap sejak tahun 2009. Melalui film ini, Noer akan mengajak kita untuk mengarungi dinamika keluarga lewat tema kehamilan remaja yang dikupas tuntas di film ini.
Cerita diawali dengan sepasang anak muda, yaitu Dara dan Bima, yang diperankan oleh Adhisty Zara dan Angga Yunanda. Secara akademik, keduanya cukup jomplang; yang satu diatas rata-rata, yang satu sebaliknya. Keduanya sama-sama memiliki seorang saudara, namun yang satu berperan sebagai sulung dan satunya menjadi bungsu. Latar keluarga mereka pun berbeda, yang satu hidup bersempitan dan yang satu lagi tinggal di perumahan. Terlepas dari perbedaan keduanya, mereka cukup populer di sekolah sebagai pasangan yang tidak pernah lepas satu sama lain.
Masalah dimulai ketika Dara dan Bima mulai bermain di luar batas. Keduanya yang begitu dekat satu sama lain sudah cukup terbiasa untuk menghabiskan waktu di rumah Dara, bahkan di kamarnya. Berawal dari permainan make-up Dara, mereka berlanjut sampai persenggamaan yang tidak terduga. Keduanya yang melakukan tanpa paksaan ini kemudian dihadapkan dengan drama baru: kehamilan Dara. Awalnya, keduanya cukup berhasil untuk menutupi kehamilan Dara yang masih sangat muda. Tapi, namanya juga busuk, pasti akan ketahuan juga.
Yang pasti, premis diawal yang ditawarkan Noer memang sudah bukan hal yang baru dalam perfilman ataupun sinetron Indonesia. Yang paling terngiang dalam ingatan saya adalah sinetron “Pernikahan Dini” yang sempat populer di RCTI dan dibintangi oleh Agnes Monica dan Syahrul Gunawan. Akan tetapi, sepanjang 113 menit, Noer berhasil membawa penonton masuk ke dalam ceritanya yang mengalir dengan cukup apik. Penonton tidak hanya akan dibawa tentang isu kehamilan remaja saja, sebab film ini akan menyentil banyak hal.
Masih membahas ceritanya, gaya berpikir masing-masing karakter juga tergambar cukup gamblang pada alurnya. Misalnya, seperti saat Bima yang panik menghamili pacarnya, sampai berniat mencari uang untuk melakukan proses aborsi. Juga, saat keduanya mencoba membeli testpack, namun berakhir dengan malu dan menggunakan jasa ojek online. Begitu pula aksi Rika, Ibu Dara yang diperankan oleh Lulu Tobing, yang malah berniat untuk memberikan calon cucunya untuk saudaranya yang belum memiliki momongan. Sampai bagaimana masing-masing kedua orangtua mereka memikirkan nasib babak kehidupan selanjutnya untuk anak mereka.
Dari penampilan, Adhisty Zara kembali membuktikan kalau Ia tidak hanya bermodal cantik, tetapi juga berbakat dalam berakting. Film ini merupakan kolaborasi lanjutan bersama Noer, setelah memerankan Euis dalam film “Keluarga Cemara.” Apa yang ditampilkan Zara tentu jauh lebih sulit dibanding karakter Euis yang masih remaja. Disini, Ia harus tampil matang sebelum waktunya. Di sisi lain, karakter Bima yang diperankan Angga Yunanda cukup jadi penyeimbang yang menarik. Karakter Bima yang bodoh dan tolol patut dipuji untuk kesetiaan dan tanggung jawabnya yang tinggi.
Akan tetapi, dari kesemuanya itu, Cut Mini dan Lulu Tobing merupakan dua sosok yang paling memainkan cerita film ini. Keduanya memerankan sosok Ibu Bima dan Dara, dan untuk ukuran pendukung keduanya begitu standout! Apresiasi yang begitu luar biasa untuk Cut Mini, yang konsisten untuk menghadirkan kualitas akting untuk perfilman Indonesia. Saya terkagum-kagum ketika sosok Ibu RT sekaligus Ibu Bima selalu bisa menghidupkan suasana dengan aksi dialognya yang celetuk mengena. Sosoknya yang terlihat strong, ternyata juga masih berhati lembut. Ada satu kutipan nasihat yang sungguh berkesan darinya, “Kita ini tidak punya apa-apa. Kita hanya punya iman dan harga diri.” Jleb.
Lain dengan Lulu Tobing. Karakter Rika yang mungkin terbilang antagonis di film ini, terbilang diluar dugaan. Sosoknya yang cantik dan punya kesibukan kegiatan, ternyata berimbas dengan kurangnya pengawasan pada kedua putrinya. Alhasil, Rika tergambar seperti seseorang yang sukses dengan karirnya, namun merasa gagal menjadi orangtua. Akan tetapi, Rika tidak akan membuat penonton panas dengan lautan luapan emosi ataupun pengambilan keputusanya yang dangkal. Lulu juga tahu bagaimana bisa mengambil hati penonton sebagai Ibu yang tetap menyayangi putrinya. Saya cukup terhanyut adegan ketika Ia sedang tidur bersama Dara sambil menggoda janin di perut Dara dan kemudian menangis.
Kalau bicara penyajian, tata sinematografi yang digawangi Padri Nadeak, terbilang cukup baik. Film ini tahu betul bagaimana menggambarkan rumah Dara, terutama pengambilan sudut kamar Dara. Saya menikmati penggunakan medium shot yang cukup banyak digunakan di film ini untuk menghidupan adegan dialog mereka. Namun, yang paling menarik adalah penggunaan tracking shot, yang cukup membuat saya berkesan. Dalam hitungan saya, ada 3 tracking shot berkesan di film ini: adegan ruang UKS, adegan perjalanan menuju rumah Bima yang melewati lorong penuh prahara keluarga, sampai adegan lamaran di ruang keluarga Dara yang penuh dengan selingan-selingan.
Bicara adegan ceritanya, “Dua Garis Biru” kaya akan momen berkesan. Salah satunya ketika adegan ruang UKS yang buat saya setiap karakter yang terlibat di dalamnya benar-benar menunjukkan kualitas mereka. Saya amat menikmati bagaimana permainan emosi di adegan tersebut yang akhirnya berakhir dengan sebuah tamparan keras. Tidak ketinggalan, prosesi kelahiran Adam juga cukup menarik, dimana sisi dramatis film ini semakin digali, salah satunya adalah ketika kelima pemerannya berada dalam shot yang sama di ruang tunggu operasi sambil bersedih, namun dengan lima jenis ekspresi akan pemikiran mereka yang berbeda. Jenius!
Sama seperti “Posesif,” film ini akan cukup menyentuh sisi emosional penonton dari musik-musik sentimentil yang hadir. Terutama dengan beberapa lagu yang menjadi pengisi film ini. Yang paling mengena buat saya adalah lagu milik Rara Sekar bersama Daramuda yang berjudul “Growing Up.” Lagu ini selalu hadir dalam setiap momen sinematik yang tepat. Juga, lagu “Jikalau” milik Naif menjadi selipan manis untuk ceritanya.
Tentu, penggarapan ceritanya yang cukup lama, berbuah kematangan yang terlihat jelas dalam ceritanya. Saya mengapresiasi bagaimana film ini mengkritisi pendidikan seks pada remaja yang hanya mempelajari cara reproduksi ketimbang resiko kehamilan dini. Begitu juga saat bagaimana film ini juga menyentil para orangtua yang mungkin tidak membangun komunikasi yang baik dengan anak-anak mereka.
“Dua Garis Biru” tidak hanya berani melakukan kontroversi, namun film ini adalah sebuah gebrakan untuk keluarga. Pesan yang dihadirkan film ini tidak semata-mata membahas cara sepasang muda menyelesaikan perkara mereka yang berani diluar batas, tetapi juga mengingatkan para orangtua bahwa menjadi orangtua adalah peranan seumur hidup yang memerlukan kematangan. Well done!