Saat melihat poster filmnya, di benak saya film “Say I Love You” seakan menjanjikan cerita drama percintaan remaja yang mungkin hadir dengan stereotype FTV ataupun sinetron-sinetron biasanya. Cuma, saya selalu mengingat ungkapan don’t judge by its cover. Yup, ungkapan ini terbukti untuk film ini. Saya terkecoh. “Say I Love You” ternyata menawarkan lebih dari yang saya bayangkan.
Cerita film ini sebetulnya terpusat pada SMA Selamat Pagi Indonesia, yang merupakan sebuah sekolah multietnis gratis yang berada di Kota Batu, Jawa Timur. Film diawali ketika seseorang pengusaha bernama Julianto Eko Putra, yang diperankan oleh Verdi Solaiman, mendapat bantuan dana Rp 5 Milyar untuk membangun sebuah sekolah. Ia meyakini, “Tuhan itu kan pasti kasih jalan jika kita sungguh-sungguh.” Terbukti, melalui dana tersebut Ia membangun sekolah dengan memberikan pendidikan gratis untuk anak-anak dengan latar belakang SARA yang berbeda-beda.
Pada masa awal berdirinya, SMA Selamat Pagi Indonesia tidak semulus yang dibayangkan saya. Murid-murid berpendidikan gratis ini malah berlaku seenaknya. Mulai dari membuang makanan, mengabaikan tugas dari guru, sampai ogah-ogahan tuk ikut latihan pasukan pengibar bendera. Akan tetapi, masih ada beberapa anak baik disana. Salah satunya Sheren, diperankan oleh Dinda Hauw. Perempuan asal Madiun ini mulai merasa terjebak dengan situasi sekolah yang semakin tidak kondusif. Tak hanya Sheren, ada juga siswi lainnya yang mengalami hal yang sama. Salah satunya Sayydah, diperankan oleh Rachel Amanda, yang merasa kecewa karena Ia ingin agar sekolah tempat Ia belajar saat ini dapat menjadi rumah untuknya.
Singkat cerita, keterpurukan tersebut juga menggeruguti para pengurus sekolah. Salah satunya adalah Pak Didik, diperankan oleh Butet Kertaradjasa, yang secara tiba-tiba memutuskan untuk berhenti sebagai Kepala Asrama. Mengetahui hal ini, Julianto sebagai pemilik sekolah merasa cukup gagal dengan apa yang telah dipercayakan kepadanya. Demi bertanggungjawab akan kegagalannya, Julianto dengan nekat terjun langsung ke lapangan, dan mencoba membangun kembali sekolah yang Ia mimpikan.
Ngomongin alurnya, film ini memulai ceritanya dengan flashback, lewat latar belakang detik-detik pementasan seni “Blaze of Glory” karya Sheren. Bila anda sadari, di bagian ini beberapa tokoh nyata di ceritanya ini juga tampil sebagai cameo. Selanjutnya, narasi Sheren akan menemani penonton hampir di sepanjang adegan untuk mengikuti kisah luar biasa dari sekolah ini.
Skenario film yang ditulis oleh Alim Sudio dan Endik Koeswoyo, terbilang cukup menarik. Keduanya bisa memadatkan cerita aslinya yang berdurasi 7 tahun, dan disusun menjadi rentetan drama sekolah yang penuh konflik kecil kurang dari 2 jam. Begitupun dengan penyertaan unsur komedi yang terbilang lucu dan tidak garing untuk sepantaran anak SMA. Aksi sebar surat cinta serta beberapa unexpected decision dari karakternya, cukup berhasil membuat saya geli. Juga, saya menyukai bagaimana kekuatan dialog film ini yang kadang langsung mengena, tanpa harus bertele-tele.
Bila anda sadari, kisah film ini akan terpusat pada sosok Julianto. Penonton akan menyaksikan bagaimana pergulatannya yang belum selesai setelah membangun SMA Selamat Pagi Indonesia. Ia masih harus turun tangan untuk melakukan transformasi bagi para anak didiknya untuk mau menjadi orang-orang yang sukses. Konsep-konsep yang ditampilkan film ini juga cukup gamblang dan menginspirasi. Salah satunya adalah konsep Big Five dan Warrior and Survivor yang perlu anda saksikan di film ini.
Menariknya, kita tetap akan melihat karakter Julianto sebagai sosok manusia yang masih punya keterbatasan. Bila anda semakin menggali tokoh utamanya, kita dapat merasakan bagaimana begitu besar impian Julianto, yang tidak melulu dapat diraihnya karena latar belakangnya yang telah dimilikinya. At some point, sosoknya yang takut akan Tuhan dan optimis menjadi salah satu keteladanan yang patut dicontoh. Akan tetapi, yang paling membuat saya terheran-heran adalah cara beliau untuk menggodok para siswa. Gokil!
Dari penggarapannya, saya merasa Faozan Rizal, sutradara film ini, ingin menghadirkan kisah SMA Selamat Pagi Indonesia menjadi se-realis mungkin. Ini terlihat bagaimana aktivitas kehidupan di asrama dan sekolah cukup digali dan diperlihatkan dengan matang. Misalnya seperti saat mereka bangun pagi, beribadah, ataupun saat ketika beberapa diantara mereka kelaparan di tengah malam.
So far, ini salah satu penampilan terbaik Verdi Solaiman. Setelah sekian banyak film yang pernah saya tonton, dimana Ia sebagian besar memerankan sosok pendukung, disini Solaiman hadir begitu kuat dengan karakter Julianto yang down to earth, tegas, dan bertanggung jawab. Kalau untuk jajaran cast lainnya, saya merasa dari sekian banyak tokoh pendukung di cerita ini, sosok Sayydah yang diperankan oleh Rachel Amanda yang paling menonjol. Karakter Sayydah entah kenapa malah berkesan. Walaupun Ia bukan sosok yang dipilih, namun Ia bisa tetap berusaha menonjol untuk menjadi yang terbaik. Untuk bagian penghibur, Teuku Ryzki dan Ibnu Rahim berhasil menghidupkan film ini lewat kekonyolan mereka.
Disamping dari jalan cerita yang mudah dicerna dan enjoyable, semakin menghayati ceritanya, nilai-nilai yang terkandung di film ini terbilang cukup kaya. Salah satunya seperti bagaimana penekanan pluralisme dalam beragama yang sempat beberapa kali diulang di film ini, ataupun bagaimana pembelajaran yang saya dari film ini masih relatable untuk diimplementasikan di dunia kerja. “Say I Love You” memang terlalu menipu dari poster ataupun judulnya. Namun, sudah sepatutnya film ini dapat menginspirasi banyak orang. So inspiring!