Tepat setelah satu tahun dari pendahulunya, film ini kembali menepati janjinya. “Dilan 1991” dirilis dan mengajak penonton kembali ke awal dekade 90-an menikmati salah satu cerita cinta paling fenomenal di sepanjang sejarah perfilman Indonesia. Yup! Terlalu dini memang untuk mengatakannya. Tapi, untuk ukuran rekor-rekor laris yang pernah dibuat, tentu sudah jadi bukti dari publik.
“Dilan 1991” terfokus pada kelanjutan cinta Dilan dan Milea, diperankan oleh Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla, yang baru saja memproklamirkan status mereka sebagai pasangan kekasih. Tentu, menyaksikan ini bagaimana menikmati happy ending yang ditawarkan di film sebelumnya. Dilan yang juga anggota geng motor di Kota Bandung ini memang tidak pernah habis dengan ulah. Kali ini, Ia terancam untuk diberhentikan dari sekolah.
Berbeda dengan film pendahulunya, durasi 121 menit terasa mengenyangkan. Bila anda juga menyaksikan behind the scene film ini, banyak sekali adegan yang tidak terlihat saat saya menyaksikannya di bioskop. Bicara plotnya, saya merasa ceritanya berjalan terlalu bebas, tanpa ada struktur yang jelas. Di bagian awal, mood meter saya mulai meningkat dan kemudian stabil bosan di bagian pertengahan hingga mendekati 20 menit terakhir, lalu kembali fokus saat menjelang habis. Konflik-konflik yang akan tambah banyak, seperti yang diceritakan pemainnya dalam behind the scene, terasa tidak terlalu terbukti. Di film kedua ini saya merasa penekanan ceritanya semakin jelas dan mengerucut: ini semua tentang kisah cinta Milea!
Apa yang saya tangkap, Dilan memang bukan cinta pertama Milea, tapi Dilan terlalu berkesan! Tentu! Tidak heran jika pembuat ceritanya, Pidi Baiq, menulis kisah tentang Dilan sampai 2 buku sendiri. Namun, yang agak sedikit berbeda dari film pertama, pria-pria yang jatuh hati dengan Milea terbilang menjadi semakin banyak. Masih ada Refal Hady yang berperan sebagai Kang Adi dari film sebelumnya, lalu Yugo si sepupu jauh yang diperankan oleh Jerome Kurnia, sampai guru bahasa Indonesia baru bernama Pak Dedi yang diperankan oleh Ence Bagus.
Ngomongin formula, tentu gombalan-gombalan Dilan masih hadir untuk menghibur penonton. Mulai dari ngomongin Neil Armstrong, PR, sampai jadi Presiden. Dilan yang tukang gombal ini masih diperankan dengan cukup apik oleh Iqbaal. Masih sama seperti komentar saya sebelumnya, jika bukan Iqbaal, tentu karakter Dilan bisa tampak garing kaya kerupuk.
Vanesha pun masih menunjukkan chemistry yang lebih baik di film sebelumnya. Yang berbeda, karakternya semakin digali. Penonton akan diperlihatkan sifat posesif Milea dan juga bagaimana Ia membangun kedekatan dengan Bunda Dilan yang diperankan Ira Wibowo. Parahnya, yang membuat saya lebih terkejut-kejut adalah ketika Milea lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan Bunda Dilan ketimbang Bundanya sendiri. Simak saat bagaimana Milea dengan mudah memutuskan saat adegan ambil rapor. Ini menjadi tanda tanya besar buat saya mengenai hubungan Milea dengan sang Ibu.
Semakin banyak karakter yang ditambah di film ini. Mulai dari kehadiran Ayah Dilan, diperankan oleh Bucek, yang diceritakan berlatar militer. Kedatangan Tante Anis, diperankan oleh Maudy Koesnadi, beserta putranya Yugo, yang kembali untuk tinggal di Bandung. Ataupun kemunculan Ibu Anhar, diperankan oleh TJ Ruth, yang mencari Milea demi menyelesaikan permasalahan di film sebelumnya. Karakter yang semakin banyak ini sebetulnya juga tidak terlalu mempengaruhi ceritanya dengan cukup signifikan, mengingat mereka kadang hanya muncul sepintas-sepintas saja.
Dari penyajian ceritanya, film yang disutradarai oleh Fajar Bustomi dan Pidi Baiq ini akan membawa penonton untuk semakin menyimak cerita Milea. Saya terkejut ketika 20 menit terakhir film ini seperti bergerak terlalu cepat, dan memberikan sinyal eksplisit untuk film installment ketiga yang akan berjudul “Milea.”
Secara keseluruhan, saya merasa jauh lebih bosan dari film pertama yang biasa saja. Apalagi dengan soundtrack-soundtrack film ini yang terasa kurang berkesan dan sefenomenal “Ada Apa Dengan Cinta” ataupun “Eiffel I’m in Love…” Set kota Bandung pun tidak terlalu dijual seperti film-film Indonesia pada umumnya. Adegan film ini memang akan lebih banyak di Rumah Dilan, Rumah Milea, Sekolah ataupun Warung Bi Eem. Yang pasti hanya akan seputaran-seputaran itu saja, plus adegan naik motornya Dilan.
“Dilan 1991” menutup cerita versi Milea dengan tidak menyenangkan. Saya suka bagian ini. Romance must not always end with happy ending. Walaupun tidak sampai level tragis, tentu akan cukup sulit buat penonton melihat jika Dilan tidak bersama Milea. Yah, menghadapi kenyataan akan selalu lebih pahit dari yang dibayangkan. At least, sosok Milea yang berhasil move on tetap menunjukkan satu hal: percintaan dengan Dilan memang benar-benar berkesan!
Jika anda belum menyaksikan pendahulunya, tentu film ini akan terasa asing. Baiknya, walaupun banyak sponsor, saya suka bagaimana cara film ini untuk tidak memadukan titipan sponsor ke dalam dialognya. Bila membanding film-film percintaan Indonesia yang memiliki sekuel, “Dilan 1991” masih jauh dari “Ada Apa Dengan Cinta 2,” tapi terbilang cukup sebanding dengan “Eiffel I’m in Love.”
Jujur, saya tidak terlalu merasa rugi menyaksikan “Dilan 1991,” karena cukup penasaran walaupun ternyata ada di bawah ekspektasi saya. Malahan, saya kadang terlalu risih malah ketika mendengar beberapa orang yang terkesan “aduh… gw diajak nonton Dilan nih…” What’s wrong with Dilan? Dalem hati, ya kalau enggak mau ditonton, ya ga usah dijelekin duluan. Paling enggak ya, Iqbaal yang memerankan Dilan masih berhasil untuk membuat satu studio tertawa dengan gombalan-gombalan dan pemikiran kreatifnya itu. Simpulan saya, masih sama. “Dilan 1991” terbilang tidak jelek ataupun tidak bagus dan sedikit menghibur. Okay!