Pernah mendengar nama Lee Israel? Mungkin anda belum mengenalinya. Begitupun saya sebelum menyaksikan film ini. “Can You Ever Forgive Me?” merupakan kisah hidup yang diangkat dari sebuah autobiografi Israel yang menceritakan kehidupannya, sekaligus aksi-aksi kriminal yang dilakukan.
Lee Israel, yang diperankan oleh Melissa McCarthy, merupakan seorang penulis buku biografi. Ia baru saja menyelesaikan biografi mengenai Estee Lauder, seorang pebisnis wanita asal Amerika, dan sayangnya bukunya gagal total. Buku biografi yang Ia rilis bersamaan dengan terbitnya buku autobiografi Estee Lauder, yang berujung dengan kegagalan komersil maupun dari kritikus, sekaligus menjadi akhir kariernya.
Tidak lagi mendapat tempat untuk menulis, Israel diperhadapkan dengan masalah hidup. Ia sudah tidak punya banyak uang dan tidak ada penghasilan, tapi ada banyak pengeluaran yang perlu dilakukannya. Ia pun kemudian berkenalan dengan seorang flamboyan, pengedar narkoba, yang juga sahabatnya, Jack Hock, yang diperankan oleh Richard E. Grant. Keduanya kemudian sering menghabiskan malam bersama sambil bercerita tentang kehidupan mereka masing-masing.
Terdesak dengan kebutuhan, membuat Israel harus bisa bertahan. Ia kemudian memutuskan untuk melakukan peniruan surat-surat dari tokoh-tokoh terkenal, dan menjual barang palsu tersebut kepada kolektor dengan harga yang tinggi. Tidak hanya dirinya sendiri, begitu juga Hock ikut dalam pusarannya. Sampai akhirnya, keduanya perlu menyadari bahwa permainan mereka perlu untuk disudahi.
Film yang berasal dari memoar Israel Lee ini memang cukup menarik. Buat saya, film ini merupakan salah satu kuda hitam di awards season tahun ini. Maklum, kualitas penampilan Melissa McCarthy dan Richard E. Grant akan mampu berhasil membuat kita gemas dengan karakter mereka. Saya amat tidak menyangka jika McCarthy, yang sebelumnya sempat mendapatkan nominasi Academy Awards dalam “Bridesmaids” kembali memperlihatkan penonton jika Ia bukan hanya sekedar aktris komedi saya. Ia juga mampu tampil serius. Sekaligus nyebelin.
Awalnya, Nicole Holofcener, yang juga penulis film ini, akan didaulat menjadi sutradara film ini. Setelah ditinggalkan di tahun 2015, sutradara Marielle Heller menggantikannya dengan tetap menggunakan material dari Holofcener. Bicara naskahnya, dialog-dialog yang dibuat oleh Holofcener terasa begitu berkelas. Ini terlihat dari pemilihan kata yang digunakan dalam dialog, sekaligus menampilkan sosok Israel dan Hock terbilang punya kaya perbendaharaan kata-kata di sehari-hari.
Dari penyajiannya, apa yang ditawarkan film ini terasa cukup manis. Saya menyukai pemilihan musik yang dipakai sepanjang film ini, yang mengiring penonton dengan alunan piano serta kadang mengemasnya dengan suasana Jazz. Apalagi ketika lagu “I’ll Be Seeing You” dipakai untuk mengisi di salah satu bagian film ini. Untuk coloring, tone warna yang dipakai di film ini cukup hangat, apalagi dengan dominasi suasana New York City yang selalu dihadirkan cukup tenang. So sweet…
Ngomongin tema filmnya, penonton jangan sekali-kali berharap untuk sebuah komedi yang bisa mengocok perut Anda. Slentingan memecah tawa kecil pun hanya akan muncul dalam bentuk dialog kedua pemeran utama yang terbilang penuh dengan suasana serius. Setelah film ini berjalan, saya pun menyadari jika film ini hanya berani untuk membahas seksualitas Israel dan Hock secara implisit. Memang bagian ini hanyalah penambah cerita, apalagi jalan cerita yang memang lebih terfokus dengan kejahatan yang dilakukan keduanya.
“Can You Ever Forgive Me?” membuktikan kembali jika tekanan mampu membuat irassionalitas kita berjalan, sebagaimana Lee Israel yang kemudian terjebak dengan permainannya sendiri. Jika membahas apa yang dilakukan Israel, untuk ukuran jaman tersebut tentu terasa lumayan mudah untuk meniru surat yang bermodalkan header standar yang mudah ditiru. Akan tetapi, saya salut dengan Israel. Bila anda memperhatikan bagaimana proses kreatif yang dilakukannya, Ia tidak hanya sekedar mengemas kata-kata dalam surat palsunya, tetapi juga memahami sebagaimana subjeknya demi menciptakan padanan kata yang terasa seperti subjek yang ditiru. A trully honest confession.