“Boy Erased” kembali membawa saya ke dalam sebuah diskusi yang cukup hangat dengan rekan saya. Topik yang kami bicarakan menyangkut tentang apa yang melatarbelakangi seseorang terkesan menjadi “berbeda” ketika Ia merupakan seseorang LGBT. Awalnya, saya berpikir jika itu adalah sebuah pilihan. Yah, hidup penuh dengan banyak pilihan kan dan sebagai penduduk dunia yang baik, saya cukup menghargai keputusan tersebut. Rekan saya malah membantah keras-keras. Menurutnya, itu memang sudah dari sono-nya dan bukan karena memutuskan. “Boy Erased,” sebuah drama yang berasal dari memoar Garrard Conley kembali menegaskan jika menjadi LGBT bukan sebuah pilihan.
Film ini mengajak penonton untuk ke Arkansas, dan bertemu dengan keluarga Eamons, sebuah American family yang hanya terdiri dari sepasang suami istri dengan putra kebanggaan mereka. Ayahnya, Marshall, yang diperankan oleh Russell Crowe, merupakan seorang pemilik outlet Ford sekaligus juga sebagai pengkotbah di sebuah gereja Baptist lokal. Istrinya, Nancy, yang diperankan oleh Nicole Kidman, merupakan seorang Ibu rumah tangga. Tidak ketinggalan, putra mereka, Jared, yang diperankan oleh Lucas Hedges, baru saja berhenti dari college yang diambilnya.
Jared adalah seorang gay. Ia dengan berani mengakui statusnya itu di depan kedua orangtuanya. Lantas, putra satu-satunya ini membuat Russell dan Nancy terkejut. Russell, yang dikenal religius ini langsung menelepon kerabat pastornya untuk hadir ke rumah. Mereka kemudian datang, dan keluarga ini langsung didoakan dengan maksud dapat mengobati Jared.
Usaha kedua orangtua yang konservatif ini belum berhenti sampai disitu. Jared dibawa Nancy keluar kota dengan menaiki kendaraan mereka dan membawa Jared ke sebuah program rehabilitasi yang bernama “Life in Action.” Mereka menginap di sebuah hotel, dan Jared akan diantar jemput oleh sang Ibu setiap hari.
Demi menuruti perkataan orangtua demi menyembuhkan ‘kelainan’-nya, Jared mengikuti program tersebut. Ia bertemu dengan seorang pengajar bernama Victor Sykes, diperankan oleh Joel Edgerton, yang cukup intimidatif. Sesi-sesi dari Victor terasa cukup dalam, apalagi kadang terkesan penuh interogasi. Dalam tontonan yang hampir 2 jam ini, penonton akan diajak menelusuri kelas ‘Life in Action’ yang menegangkan sekaligus masuk ke dalam masa lalu Jared yang menjadi pemicu semuanya.
Film ini diadaptasi dari sebuah memoar berjudul sama yang ditulis oleh Garrad Conley pada 2016. Ceritanya kemudian diadaptasi dan diarahkan oleh Joel Edgerton, sutradara sekaligus aktor asal Australia yang sempat bermain dalam “The Great Gatsby” dan kisah cinta interracial “Loving.” Di film ini, Edgerton memasang Nicole Kidman dan Russell Crowe, duo pemenang Academy Awards kebanggaan Australia, dan memasukkan Lucas Hedges sebagai anak mereka. Hedges cukup booming apalagi setelah peran-perannya dalam “Manchester by the Sea,” “Lady Bird” ataupun “Three Billboards Outside Ebbing, Missouri.” Dengan ketiga cast yang terkenal dengan aksi drama mereka yang powerful, tentu “Boy Erased” sudah memberi sebuah jaminan tersendiri dalam benak saya.
Sesuai dugaan, apa yang diperlihatkan ketiga cast ini memang seperti ekspektasi saya. Untuk Hedges, yang sebelumnya juga pernah bermain sebagai karakter gay dalam “Lady Bird,” bisa tampil lebih matang, walaupun tidak semenarik di “Manchester by the Sea.” Kalau kedua orangtuanya, saya lebih menyukai peran Kidman ketimbang Crowe. Kidman berhasil membuat saya terkesan dengan rahasia-rahasia ataupun aksi patriotiknya sebagai seorang Ibu. Kalau Crowe, yang hadir dengan perawakan berbeda 180 derajat dengan apa yang kita saksikan dalam “Gladiator” ataupun “A Beautiful Mind,” menampilkan peran yang terasa tidak terlalu banyak effort namun cukup karismatik. Sayang saja, karakter Kidman masih jauh lebih dominan dan sosok Marshall disini terasa baru mendapat layar penuh di sesi akhir.
Apa yang paling menonjol dari film ini adalah score gubahan Danny Bensi dan Sauder Jurriaans. Keduanya bisa menciptakan momen penuh ketegangan dari awal film. Tanpa musik, tentu “Boy Erased” cuma jadi tontonan yang terasa hambar. Kesan ini tambah diperjelas dengan cara Edgerton yang banyak berani memasukkan adegan-adegan gelap, sehingga kesan thriller film ini semakin terasa.
Bicara ensemble cast-nya, film ini punya beberapa bintang yang sudah familiar di telinga saya. Ada sutradara Xavier Dolan yang memerankan sosok Jon, yang cukup fanatik dengan program konversi ini. Ataupun juga karakter Gary, yang diperankan oleh penyanyi Troye Sivan yang memutuskan untuk bermain aman.
Apa yang ingin disampaikan “Boy Erased” sudah terlalu jelas. Be yourself! Anda tidak dapat menutupi apa jati diri Anda yang sebetulnya. Fake it until you make it versi ‘Life in Action’ versi Jared ya tidak terbukti untuk skenario disini. Pada satu titik seseorang akan cukup lelah untuk menjadi fake, dan tidak ada cara yang lain untuk berhenti selain mau menerima kondisi tersebut.
“Boy Erased” mencoba untuk memelintir pandangan awam dengan menjerumuskan penonton lewat bagaimana karakter Jared berusaha menyimpulkan dari percobaan yang dilakukan pada dirinya. Perjalanan penuh intimidasi, eksploitasi dan sungguh mencengangkan! Kapan lagi Anda melihat cara prosesi pengusiran iblis dengan memukulkan Alkitab ke mereka yang dianggap tidak normal sebagai upaya penyembuhan mereka. “Boy Erased” akan membawa penonton selangkah lebih maju mengenal conversion therapy program dan mengajak kita berpikir apakah ini sebuah langkah yang tepat. Buat saya, tentu tidak. Anda?