Harus diakui, sangat sulit untuk tidak membandingkan film “Keluarga Cemara” versi anyar dengan versi serial televisi yang sempat diputar di layar kaca pada tahun 90-an. Rupanya di versi terbaru ini banyak hal yang berubah, seperti profesi Abah yang tidak lagi menggoes becak tapi jadi mitra ojol, Emak yang jago Bahasa Inggris, Euis yang jadi hobi nge-dance atau Ara yang jadi lebih jujur dan perasa. Walau begitu, ada satu benang merah yang rupanya tetap berhasil dikemas oleh Yandi Laurens yakni kehangatan sebuah keluarga.
Melalui karyanya, Yandi menyuguhkan makna keluarga dalam berbagai layer. Keluarga dalam kacamata Yandi tidak hanya hadir dengan definisi ‘sedarah’ tetapi juga ketulusan hati antar tetangga, teman sekelas, guru dan murid, hingga rekan kerja. Alhasil, film hasil kerjasama Visinema Pictures dengan Ideosource Entertainent dan Kaskus ini tidak hanya semata-mata mengajak penonton bernostalgia tapi juga berkaca, sudahkah tawa yang sama hadir di tengah keluarga kita?
Cerita “Keluarga Cemara” dibuka dengan insiden penipuan yang menimpa Abah , yang diperankan oleh Ringgo Agus Rahman, yang ditipu oleh kakak iparnya sendiri, yang diperankan oleh Aryo Wahab. Alhasil, karena penipuan proyek yang jumlahnya tidak sedikit, Abah, Emak serta kedua putrinya Euis dan Ara terpaksa harus keluar dari rumah lantaran rumah mereka disita. Tidak hanya itu, Abah pun harus merelakan mobilnya dijual demi membayar upah dan pesangon mandor serta para kuli bangunan yang terpaksa harus dirumahkan setelah proyek mereka mangkrak.
Karena tidak lagi punya tempat berteduh, maka Abah pun mengajak keluarganya untuk kembali mendiami rumah warisan ayahnya di kawasan Cisarua, Bogor. Konflik pun dimulai ketika seluruh anggota dengan caranya masing-masing memproses kondisi kehidupan yang tak lagi sementereng sedia kala. Abah akhirnya dihadapkan pada sebuah pilihan, menjual rumah warisan dan kembali pindah ke Jakarta atau berdamai dengan keadaan di Cisarua?
Mengalirnya alur cerita yang apik dan sarat makna tentu tidak muncul begitu saja. Dibalik haru biru kisah keluarga Abah yang mampu membuat penonton menitikan air mata ada tangan dingin penulis naskah kawakan, Gina S. Noer juga Yandi Laurens, sang sutradara. Berdua, mereka mampu meramu dialog-dialog yang tidak hanya cerdas tapi juga lucu sehingga rasa kekerabatan yang kental tercermin dengan manisnya di sepanjang film.
Saya masih teringat betul dengan adegan Ara, yang diperankan Widuri Putri, tengah berjongkok di pinggir jalan sambil berkata dengan polosnya, “Ara nggak mau ulang tahun lagi. Habis, kalau sudah dua belas tahun nanti dimarahin Abah kayak Abah marahin the Euis.” Bayangkan, kritik yang sangat dalam disampaikan dengan begitu sederhana dari kacamata seorang anak usia 7 tahun tanpa ada kesan menggurui!
Di samping naskah yang ditulis rapi, cerita Keluarga Cemara juga didukung oleh aktor dan aktris yang mumpuni. Seperti yang sudah dirilis melalui akun instagram film Keluarga Cemara, peran Abah memang peran yang tidak main-main. Di tangan Abah, terletak keutuhan dan keharmonisan keluarga panutan sejuta umat ini. Bagusnya, dengan usia yang terpaut jauh, Ringgo Agus rahman tidak serta merta meng-copy kearifan Adi Kurdi. Melalui caranya, penonton dibuat percaya bahwa Abah pun pernah muda. Ringgo membuat Abah menjadi manusia, yang juga pernah salah mengambil keputusan bisnis. Abah di tangan Ringgo juga perlu waktu untuk memahami kegalauan putrinya, Euis, yang diperankan oleh Adhisty Zara. Abah yang sempurna itu pun juga perlu belajar mengelola emosi.
Di sisi lain, Ringgo Agus juga dengan lihainya menjelma menjadi Abah yang dengan caranya menyikapi kesulitan hidup dan mengubahnya menjadi tawa. Bravo untuk Ringgo! Bersanding di samping Ringgo sebagai Emak, Nirina Zubir pun tampil tak kalah memukau. Ketika Abah marah, Nirina menjelma menjadi sosok ibu yang lembut dan penyayang. Tapi saat rumahnya di ambil paksa, penonton bisa dengan jelas melihat kilat di mata Emak yang terus protes bak induk betina yang sedang bertarung melindungi anak-anaknya. Pendek kata, dari cara Nirina memerankan tokoh Emak, ia seolah menegaskan bahwa sejatinya berkeluarga adalah keputusan berdua.
Selanjutnya, kemunculan Widuri Putri sebagai Ara harus diakui menjadi angin segar di dunia perfilman Indonesia. Harus diingat, memerankan tokoh legendaris tentunya bukan pekerjaan gampang. Hebatnya, kemunculan Widuri sebagai Ara tidak hanya sekedar menghidupkan kembali tokoh tersebut, tetapi juga berhasil membuat warna. Hasilnya, tokoh Ara di layar lebar hadir dengan lebih banyak emosi.
Sebagai Ara, Widuri mampu tampil polos tapi kritis hingga mampu menegur ayahnya. Di lain scene, ia membuat penonton tertawa gembira melihat polahnya yang impulsif, perosotan di halaman, merebut sertifikat rumah. Tak berapa lama kemudian, isakan Widuri juga bisa membuat penonton ikut gemas tatkala Ibu Guru, yang diperankan oleh Widi Mulia lupa memanggil namanya di akhir acara pentas sekolah. Keputusan Yandi Laurens mendapuk Widuri sebagai Ara memang tepat adanya.
Sayangnya penampilan Adhisty Zara sebagai Euis tidak secemerlang penampilan Widuri. Euis di versi film nampak lebih murung dan minim dialog. Lemahnya ekspresi wajah Zara membuat kehadirannya terasa redup. Walau begitu, penampilannya ini bisa dimaklumi mengingat Euis sebagai kakak pun di film ini juga bergolak dengan batinnya sebelum akhirnya menerima keadaan dari yang serba ada menjadi apa adanya. Barangkali minimnya emosi merupakan refleksi seorang Euis memproses perubahan kondisi keluarga yang awalnya mewah jadi sederhana.
Untungnya, tak sedikit cameo yang turut memperkuat alur cerita sederhana ini. Sebut saja aktris Asri Welas yang selalu konsisten dengan banyolan-banyolan tampil menghibur sebagai Ceu Salmah. Kemunculan tokoh-tokoh pendukung seperti Ceu Salmah, Romli sepupu Abah, dan Andi teman sekelas Euis menjadi penting sebagai penyeimbang cerita.
Tidak lupa, kepiawaian Rifat Syauqi Rahman Fachir sebagai penata musik harus diacungi jempol. Score yang syahdu serta lantunan lagu dari musisi kenamaan seperti Banda Neira, Dialog Dini Hari dan Bunga Citra Lestari pun turut berperan penting dalam kesuksesan Yandi Laurens mengaduk-aduk emosi penonton. Meski terasa agak tergesa-gesa di awal, film berdurasi 110 menit ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya, menekankan, bahwa benar adanya, bahwa harta yang paling berharga adalah keluarga.