Mouly Surya is back! Setelah merilis “What They Don’t Talk About When They Talk About Love,” Ia kembali mengangkat karakter utama perempuan, kali ini dengan sosok tangguh dari Sumba. Lewat judul “Marlina the Murderer in Four Acts,” penonton akan menyaksikan bagaimana seseorang perempuan bernama Marlina melakukan perlawanan secara solo demi mendapatkan keadilan.
Marlina, diperankan oleh Marsha Timothy, hanya hidup sendiri. Ia hanya ditemani jenazah suaminya yang diatur duduk di salah satu sudut ruang tamu rumah sederhana mereka. Hutang milik suaminya membuat seorang penagih hutang bernama Markus, diperankan oleh Egi Fedly, mengunjungi rumah mereka. Alih-alih cuma menagih, Markus malah mengajak 6 orang rekan lainnya untuk menyambangi rumah Marlina dan menjarah harta ternak yang tersisa. Tak ayal, Markus pun juga menjelaskan bagaimana ketujuh pria ini juga akan menikmati tubuh Marlina dan Ia akan menjadi perempuan paling beruntung. “Sa [saya] perempuan paling sial malam ni,” balas Marlina.
Yang saya sukai dalam film ini Surya banyak melancarkan adegan-adegan tanpa dialog yang penuh makna. Misalnya, ketika bagaimana kamera menangkap ekspresi Marlina yang sedang takut, cemas, sekaligus mengatur rencana dari balik dapur. Begitu juga dengan kesan gore yang terasa, ketika kombinasi adegan pemerkosaan dipadukan dengan aksi tebas kepala. Wow! Ini tidak hanya satu kali di film ini.
Tanpa mengumbar ceritanya, dari premis sudah dijelaskan jika Ia berhasil ‘menghabisi’ kelima penjahat tersebut. Termasuk mengibas kepala Markus, yang kemudian dibawanya. Kesan ini sedikit mengingatkan saya dengan sikap yang cukup mirip dari film lawas Jepang, “In the Realm of the Senses,” dimana karakter perempuannya membawa kelamin prianya dan berkeliling kota. Bedanya, di film Jepang, cerita Abe Sada lebih menonjolkan sisi obsesif, ketimbang Marlina yang membawa kepala sebagai tanda ‘kemenangan.’
Konsep cerita dari Garin Nugroho ini berhasil diterjemahkan oleh kedua penulis cerita film ini, Rama Adi dan Mouly Surya. Dengan setting Sumba Timur, keduanya tidak akan terlalu membuat penonton asing. Semua dialog dalam film ini masih dengan Bahasa Indonesia dengan dialek Indonesia Timur. Kita masih dapat memahami ceritanya, tanpa perlu memerlukan terjemahan. Membahas ceritanya, seperti pada judulnya, film ini dibagi ke dalam empat babak, masing-masing berjudul: The Robbery, The Journey, The Confession, dan The Birth. Menurut saya, alur yang dihadirkan oleh film ini cukup menarik. Sedari awal, film ini seperti sudah memasukkan poin klimaks pada babak pertama, dan membuat penonton untuk menyaksikan bagaimana Marlina menutup ceritanya yang dimulai pada babak dua hingga akhir.
Pemandangan tundra Nusa Tenggara berhasil menjadi latar indah untuk film ini. Menariknya, pengambilan gambar oleh Yunus Pasolang berhasil menangkap keindahan tersebut, terlihat dari shot-shot dari kejauhan yang sering diambilnya. Akan tetapi, ada lagi hal menarik yang saya dapatkan. Pengambilan dari jauh tersebut memberikan arti bagi penonton jikalau apa yang terjadi, yang mereka saksikan dari kejauhan mungkin tidak akan terlalu terdengar. Apalagi jika ini dikaitkan dengan kekesaran yang terjadi. Dari kejauhan insiden tersebut hanya terlihat sebagai sebuah titik, namun ketika diperbesar, itu mampu mengubah cerita hidup seseorang didalamnya.
Film ini dirilis sejak 2017 lewat section Directors Fortnight di Cannes Film Festival, dan terpilih sebagai salah satu kandidat nominasi untuk penghargaan queer palm. Dari Cannes, film ini kemudian merambah ke banyak festival, sampai meraih penghargaan Best Actress untuk Marsha Timothy di Sitges International Film Festival. Belum berhenti, film ini juga masuk ke beberapa ajang penghargaan mulai dari Asia-Pacific Film Festival, Asian Film Awards, Golden Horse Film Festival, sampai terpilih untuk mewakili Indonesia untuk Best Foreign Language di 91st Academy Awards. Baru-baru ini, film ini juga berhasil meraih nominasi terbanyak dalam ajang Festival Film Indonesia.
Ngebahas aktingnya, saya sangat mengagumi penampilan Marsha Timothy disini. Penampilannya sebagai Marlina, mungkin adalah yang terbaik so far. Disini Timothy cukup sukses untuk menghidupkan adegan-adegan sunyi dialog dan berhasil mentransfer segala perasaan Marlina. Salah satu adegan yang saya sukai adalah saat ketika Ia berbalik dan menunggu bagaimana keempat pria berhasil diracunnya tergeletak satu per satu. Tapi adakalanya film ini juga memperlihatkan sisi perempuan Marlina. Buktinya seperti yang Ia perlihatkan seusai mengucapkan pengakuannya di kantor polisi. Stunning!
Dari sisi pendukung, tokoh antagonis utama kita yang diperankan Egi Fedly pun juga cukup mengesankan. Belum lagi penampilan Yayu Unru yang selalu berkesan, walaupun di film ini Ia hanya tampil cukup singkat. Tapi yang paling mencuri perhatian saya adalah karakter Novi yang diperankan oleh Dea Panendra. Awalnya, karakter Novi seperti dikemas cuma jadi penghias biasa saja. Lambat laun, memasuki babak empat, saya merasa Novi yang memegang peranan kisahnya di bagian tersebut. Novi yang digambarkan tengah hamil tua, ternyata dapat cukup perkasa seperti Marlina. The power of emak-emak!
Apa yang ditawarkan “Marlina the Murderer in Four Acts” sungguh jauh lebih matang dari “Fiksi.” Mengangkat cerita perempuan asli desa demi menuntut keadilan, ternyata akan berakhir dengan eksekusi akhir yang tak disangka. Film ini menunjukkan bagaimana begitu mudahnya kekerasan terjadi pada perempuan. Parahnya lagi jika aparat setempat belum mampu bertindak maksimal dalam memberikan perlindungan. Kesadisan yang digambarkan Marlina menggambarkan bahwa perlindungan terhadap perempuan masih sangat minim. Lihat saja, film ini memperlihatkan jika kekerasan tidak hanya terjadi pada Marlina, tetapi juga dari semua kalangan usia. Mulai dari Topan yang diperlakukan kasar oleh sang Ayah, sampai Novi yang juga disakiti sang suami. Alhasil, kadang kita terpaksa untuk perlu bertindak sendiri demi melindungi diri.
“Marlina the Murderer in Four Acts” sungguh menegangkan! 93 menit untuk empat babak tidak terasa terlalu lama untuk cerita berani yang dibawakan ala-ala “Kill Bill.” Film ini berhasil mengunci saya untuk tetap fokus dari awal, dan dengan mudah menjadi favorit saya berikutnya di tahun ini. Mengesankan! Ini merupakan salah satu film terbaik Indonesia yang pernah ada!