Ngebahas film-film bertema band remaja, tentu kita akan ingat bagaimana “School of Rock” berhasil mengocok perut anda, ataupun keseruan cerita film dari Thailand berjudul “SuckSeed.” Kali ini, salah satu content creator asal Indonesia mencoba menghadirkan tontonan sejenis yang dikemas 80 persen berbahasa Jawa dalam “Yowis Ben.”
Awalnya, saya tidak mengerti kenapa judulnya ‘Yowis.’ Jika tidak menyaksikannya, tentu akan membuat Anda kebingungan untuk mengartikan maknanya. Yang saya ketahui ‘Yowis’ berarti ‘ya sudah’, dan tadinya terpikir kata ‘Ben’ disini merupakan nama karakter. Eh ternyata… Cukup tidak terduga. Ini nama sebuah band.
Bagian pertama film ini menceritakan seorang tukang becak, diperankan oleh Erick Estrada, yang menemui seorang laki-laki yang sedang kesal. Cek di ricek, Ia ternyata Bayu, anak SMA, berkulit sawo matang dengan rambut ala kekinian, dan diperankan oleh Bayu Skak. Tukang becak ini dengan mudah mengenali pria ini. Jelas saja, Ia merupakan fans fanatik ‘Yowis Ben’ yang cukup viral itu. Bertemu sama idola ternyata malah berujung dengan percakapan curhat yang menjadi isi cerita film ini.
Cerita film ditulis oleh Bayu Skak beserta kedua rekannya, Bagus Bramanti dan Gea Rexy. Ketiganya mengemas cerita penuh lelucon dengan dialog yang cukup penuh dengan bahasa Jawa. Tapi tenang dulu, jangan ciut buat para penonton yang kurang mengerti bahasa Jawa seperti saya. Film ini menyediakan subtitle penuh, termasuk dengan lirik-lirik lagu yang dihadirkan. Kalau ngebahas dialognya, apa yang disajikan film ini cukup tidak terduga buat saya. Komposisi ceritanya mulai dari momen dramanya, komedi, sampai yang galau-galau cukup mengena. Sayang saja, perlu waktu cukup lama film ini untuk menjelaskan apa yang menjadi masalah utama di filmnya.
Setelah melewati bagian cerita yang terasa fine-fine saja, ternyata kedua sutradara film ini, Fajar Nugros dan Bayu Skak (lagi..), mulai memasukkan satu per satu kerikil dalam ceritanya. Mulai dari cerita cinta Bayu, suka duka band Yowis, hingga urusan para remaja pria dengan orangtua mereka.
Apa yang ditawarkan “Yowis Ben” merupakan sebuah eksperimen yang terbilang cukup cerdas untuk segmen penontonnya. Dari sebuah cerita band, target penontonnya yang merupakan remaja milenial, seharusnya bisa menggaet banyak faedah didalamnya. Sebab apa yang diangkat disini tidak muluk-muluk. Komedi yang diangkat juga tidak terlalu lebay. Tidak percaya? Saksikan saja bagaimana kalimat “Assalamualaikan wr. wb.” bisa jadi materi komedi yang cukup hidup di film ini.
Penampilan Bayu Skak memang terlalu mendominasi film ini. Tapi, karakternya baru makin terasa seru ketika personil Yowis Band masuk dalam adegan. Ada Joshua Suherman, sebagai Doni, yang ceritanya kurang perhatian; lalu ada Nando, diperankan Brandon Salim, si cowok ganteng pujaan hati banyak perempuan di sekolah; serta Yayan, diperankan oleh Tutus Thomson, yang jadi cowok religius nan tolol.
Kalau pendukung penampilannya, film ini cukup banyak bertabur para komedian. Mulai dari Ria Ricis, Muhadkly Acho, sampai rocker sekelas Erix Soekamti dan Sandy Pas Band yang jadi juri-juri. Saya suka bagaimana hubungan Bayu dan Ibunya cukup digali. Jempol buat chemistry Tri Yudiman dan Bayu Skak disini. Bagaimana dengan love interest di film ini? Disini ada Cut Meyriska yang tampil sebagai Susan, dan akan mampu menggoda penonton selayaknya Ia menggoda Bayu. Nah, makin penasaran kan?
Satu lagi elemen yang cukup memorable dari film ini. Musikalnya. Film ini menayangkan 6 track lagu dengan aransemen yang lumayan mudah diingat. Salah satu favorit saya adalah lagu “Gak Iso Turu,” lagu yang menceritakan tentang seorang pria yang sedang jatuh cinta. Untung saja, lagu ini cukup didominasi dengan suara vokal Joshua Suherman. Dengan musik yang cukup bersemangat dan enjoyable, pemilihan lagu ini sebagai main song terasa pas.
Secara keseluruhan, not too bad. I enjoyed a lot, and also rewatched it. “Yowis Ben” berhasil menghibur, ketimbang menonton komedi-komedi krik-krik yang semakin menjamur. Yowis, saya tunggu sekuelnya ya!