Pagelaran akbar Asian Games 2018 baru saja berakhir. Selama dua pekan, khalayak Indonesia dimanjakan dengan aksi atlet-atlet kelas dunia yang saling unjuk kemampuan. Di antara 40 cabang olahraga yang dilombakan, ada satu cabor yang cukup menyita perhatian, yakni cabor pencak silat. Jujur, saat menonton aksi atlet pencak silat berjuang memperebutkan medali emas, ada rasa kagum dan bangga yang meluap. Lho! Ternyata, seni bela diri asli Indonesia yang satu ini sungguh indah dan atraktif! Keelokan olah kanuragan yang satu ini tidak kalah keren dengan seni bela diri lain yang sudah lebih dulu populer, seperti wushu dan karate.
Belum habis kekaguman saya menikmati seni pencak silat di arena Asian Games, perasaan senada muncul usai menonton film garapan Angga Dwimas Sasongko, “Wiro Sableng 212.” Ilmu bela diri pencak silat yang membanggakan di Asian Games itu rupanya juga menjadi inti cerita film laga 123 menit ini. Wah, kok pas banget ya timing-nya! Menikmati cerita superhero lokal tepat di penghujung Asian Games membuat keindahan ilmu bela diri asli Indonesia ini jadi semakin real. Setiap gerakannya terasa nyata tidak sebatas khayalan, persis seperti yang ditampilkan oleh atlet-atlet silat peraih emas kita. Bagusnya lagi, penggunaan efek yang tidak kacangan, sukses membuat Wiro Sableng 212 menjadi film superhero lokal berkualitas internasional. Setelah lama absen, akhirnya kita punya film action bagus! Bravo!
Wiro Sableng 212 dibuka dengan kisah seorang pendekar sakti bernama Sinto Gendeng (Ruth Marini) yang telah menguasai ilmu silat tingkat dewa dan memutuskan untuk mengasingkan diri dari bisingnya dunia. Namun, saat terjadi kekacauan di Jatiwalu, ia menyelamatkan seorang anak yang kemudian dikenal dengan nama Wiro Sableng. Kedua orangtua Wiro, Ranaweleng (Marcell Siahaan) dan Suci (Happy Salma) tewas dihabisi oleh pemimpin komplotan bandit bengis, Mahesa Birawa (Yayan Ruhian). Akhirnya, Sinto Gendeng pun memutuskan untuk merawat dan mengangkat Wiro sebagai murid.
Waktu pun berlalu dan Wiro Sableng dewasa, yang diperankan oleh Vino G. Bastian, diutus sang guru turun gunung untuk melaksanakan misi kebajikan: mengalahkan si jahat Mahesa Birawa. Sementara itu, Sinto Gendeng yang sudah paripurna secara mental dan spiritual memutuskan tetap mengasingkan diri di hutan. Di tengah perjalanannya mencari Mahesa, Wiro mendapatkan kabar jika Mahesa sedang melakukan aksi kudeta dengan menculik sang putra mahkota, anak dari Raja Kamandaka (Dwi Sasono). Untungnya, Wiro pun bertemu dengan dua pendekar muda, Anggini (Sherina Munaf) dan Santiko alias ‘Bujang Gila Tapak Sakti’ (Fariz Alfarazi), yang kemudian mereka sepakat membantu menyelamatkan kerajaan.
Bagi penonton generasi 90-an, menyaksikan alur cerita Wiro Sableng 212 terasa seolah sedang diajak kembali bernostalgia ke zaman emas kala versi sinetron masih diperankan Herning Sukendro. Adegan pertarungan dengan latar warung, kembali dimunculkan di versi layar lebar. Tentu saja, hadirnya Yayan Ruhian, aktor yang namanya melejit sebagai MadDog di film The Raid sebagai koreografer, membuat adegan tarung menjadi lebih memukau.
Satu catatan lagi perlu ditambahkan, pendekar dan penjahat di film ini bebas bertarung tanpa adegan berdarah-darah sebagaimana lazimnya ciri film laga. Imbasnya, seperti yang terlihat di gedung bioskop, anak-anak usia di atas 10 tahun (dengan pendampingan orangtua tentunya) tidak perlu takut melihat adegan kekerasan berlebihan, bahkan mereka bisa ikut ketularan sableng, tertawa terbahak-bahak sambil terus mengelu-elukan kesaktian Wiro.
Hebatnya lagi, keblo’onan khas Wiro Sableng ini ditampilkan lagi melalui banyolan-banyolan segar dan kekinian hingga sanggup menarik hati penonton millennial. Tengok saja, bagaimana Wiro dengan cuek salah memanggil Anggini jadi Syahrini, si penyanyi sensasional Ibukota! Jenius bukan? Sungguh keputusan yang tepat rasanya mempercayakan penulisan skenario kepada cerpenis peraih penghargaan bergengsi Dinny O’Hearn Prize for Literary 1997, Seno Gumira Ajidarma dan Tumpal Tampubolon. Hasilnya, film Wiro Sableng tampil dengan dialog yang tidak membosankan!
Selain itu, acungan jempol juga layak diberikan kepada sederet aktor yang turut serta berperan dalam film hasil kerjasama LifeLike Pictures dengan 20th Century Fox ini. Tidak hanya Vino G. Bastian yang sukses menjadi pendekar sinting, tetapi juga aktor lainnya: khususnya Ruth Marini yang konsisten berperan sebagai guru tua renta dengan suara serak seperti Mak Lampir. Tidak lupa, kredit khusus juga patut ditujukan pada Happy Salma dan Marcella Zalianty. Memang keduanya muncul sangat singkat dan minim dialog, tapi kedua aktris tersebut sukses memerankan sosok Ibu yang begitu khawatir hanya lewat ekspresi mimik.
Secara keseluruhan, semua aktor tampil maksimal dengan porsi yang pas sehingga tak ada yang terkesan hadir hanya sebagai tempelan. Bahkan, kemunculan Marsha Timothy sebagai Bidadari Angin Timur pun terasa all out sepanjang cerita, tidak sekedar menjual kecantikan belaka. Dibalut busana seberat 10 kg rancangan desainer kenama’an Tex Saviero, Marsha Timothy tidak ragu untuk ikut adu jotos. Artinya, baik cast, detail pakaian, koreografi gerakan dan dialog dalam film ini semua dieksekusi dengan matang.
Di sisi lain, penampilan Yayan Ruhian dan Dian Sidik sebagai tokoh antagonis jelas tidak bisa dipandang sebelah mata. Dengan kekhasannya masing-masing, keduanya sukses menjadi penjahat yang aroma terornya tetap diingat hingga film usai. Yayan Ruhian tampil pol-polan menjual gerakan silat di sepanjang film, sementara Dian Sidik berhasil melucu tanpa kehilangan aura sangar. Jika diamati lebih lanjut, penampilan apik para aktor di atas jadi semakin meyakinkan lantaran didukung oleh score yang sukses membuat suspense terjaga rapi dari awal hingga akhir.
Bak dessert kelas dunia, Wiro Sableng 212 benar-benar hadir sebagai penutup manis dari rangkaian hajatan Asian Games. Indonesia kini tidak hanya bisa berbangga dengan raihan prestasi para atlet pencak silat yang mendunia, tapi juga bangga mempunyai film laga berkualitas jempolan yang siap dipamerkan di seluruh dunia. Jangan kaget, jika di perayaan Halloween mendatang, banyak anak minta dibelikan seragam silat dan mainan kapak untuk pawai, kita semua tahu lah apa penyebabnya. Apalagi kalau bukan karena buah manis si jahil Wiro? Memang benar-benar sableng!