Saya masih ingat sekitar delapan belas tahun lalu, ketika perfilman Indonesia mulai suram. Terhitung, hanya ada beberapa judul saja yang diproduksi setiap tahunnya. Kuantitas terendah selepas dari masa kejayaan film Indonesia di era 70-an sampai 80-an. Namun semenjak munculnya “Jelangkung,” “Petualangan Sherina,” hingga “Ada Apa Dengan Cinta.” Ada satu judul lagi yang tidak boleh dilewatkan. “Arisan!,” sebuah drama komedi persembahan Nia Dinata yang berani mendobrak dan memberi kesegaran tersendiri untuk dunia per-dramaan di Indonesia.
Cerita film ini berawal dari sebuah arisan, salah satu kegiatan orang Indonesia yang dimana mereka akan berkumpul, bikin gosip, makan-makan, sampai mengocok pemenang yang akan mendapat seluruh uang hasil kumpulan. Andien, yang diperankan oleh Aida Nurmala, adalah seorang ibu rumah tangga yang bahagia. Di suatu kafe di Jakarta, Ia membuat sebuah arisan sambil membawa pernak-pernik lilin hias sendiri. Pesertanya, ya tentu Ibu-ibu berduit, yang sering kita sebut sosialita.
Tema mereka saat itu adalah polkadot dress. Di acara pertamanya, Meimei, yang diperankan oleh Cut Mini, malah tidak mengikuti dresscode yang sudah ditetapkan. Wanita yang merupakan bos sebuah perusahaan arsitektur ini malah mengenakan pakaian kerja simple-nya. Dengan perkenalan yang tidak cukup hebring, Meimei ternyata dipandang sebelah mata oleh peserta lainnya. Maklum saja, wanita karir ini punya pemikiran yang sangat berbeda dengan ibu-ibu yang tampak hanya omong kosong dan menghamburkan uang mereka. Ia hanya mengikuti arahan psikiaternya untuk bertemu orang-orang baru.
Selain itu, penonton juga akan berkenalan dengan pria muda yang tampan bernama Sakti, yang diperankan oleh Tora Sudiro. Dari karakternya, Sakti terbilang memiliki kriteria pujaan kaum hawa: tinggi, pintar, baik hati dan juga sensitif. Lucunya, Ia punya kebiasaan tak lazim yang dilakukan para pria. Ia suka melakukan luluran bersama sang Ibu. Sebagai putra satu-satunya dan kebanggaan, Ia terjebak dengan hatinya. Ia tidak tergoda dengan wanita, dan sedang mencari obat yang manjur untuk ‘mengobati’ ketertarikan dengan sesama jenis.
Dari opening credits film ini, saya sudah menebak jika film ini akan secerdas bagaimana credits film ini dikemas. Ternyata benar! Cerita yang ditulis oleh Nia Dinata bersama Joko Anwar ini menawarkan sederet dinamika kehidupan ibukota. Banyak aspek yang memperkaya film ini, mulai dari kehidupan homoseksual yang terbilang masih tabu di Indonesia, tante-tante kesepian, perselingkuhan, sampai ke arah narkoba. Semuanya disusun dengan ringkas dan terasa padat. Begitupun dengan dialog-dialog yang terasa kontras, berkat penggarapan karakterisasi yang matang.
Salah satu cara Nia Dinata yang menarik disini adalah Ia bermain dengan adegan-adegan panjang yang kemudian seperti dicacah-cacah kecil dan dikombinasikan. Hasilnya, wow! Salut dengan editing yang dilakukan Dwi S. Alibasyah di film ini. Walaupun dengan banyak tokoh, film ini bisa membagi rata setiap karakternya untuk dapat porsi yang sama, dan penonton tidak akan terjebak dengan kesan complicated yang kadang hadir pada film-film sejenis, seperti “He’s Just Not That Into You.”
Saya suka kombinasi ketiga karakter utama kita yang terkesan bahagia, namun sebetulnya tidak. Andien terasa sudah bahagia dengan suami tajir dan anak-anaknya, Meimei terlahir dari keluarga kaya dan sudah berada dalam puncak kariernya, sedangkan Satria yang seharusnya bahagia dengan punya kualitas pria idaman. Ketiganya punya masalah yang berbeda, tapi terasa seperti sebuah paket drama masyarakat ibukota masa kini.
Mungkin yang paling diingat sama penonton adalah karena ini merupakan film pertama Indonesia yang menampilkan adegan ciuman sesama jenis. Kehadiran Surya Saputra sebagai Nino, ternyata cukup berhasil untuk memerankan sosok love interest di film ini. Nino berhasil memikat dengan perhatian yang kadang bisa disalahartikan penerimanya. Untuk ukuran film Indonesia, “Arisan!” terbukti berani untuk membahas kehidupan gay. Cukup menarik untuk menyaksikan kekontrasan Nino yang terbuka dengan statusnya dengan Satria yang memilih untuk menjadi closeted gay.
Kalau bicara komedinya, “Arisan!” juga cukup berhasil lewat penampilan Rachel Maryam sebagai Lita, seorang perempuan dari Padang Sidempuan yang sedang dijodohkan dengan Satria. Walaupun untuk peran pendukung, aksi Maryam sebagai perempuan batak dari kampung yang terlihat bodoh nan acak-acakan ini, cukup memberikan sebuah penampilan yang menghibur.
Film ini juga penuh dengan cameo, seperti bintang-bintang bertebaran. Mulai dari Jajang C. Noer sebagai seorang psikiatri, lalu Tika Panggabean sebagai si tukang lulur, Nico Siahaan sebagai suami Tika, Ria Wibowo, sampai Nia Dinata sendiri. Kalo dibayangkan seperti makanan, “Arisan!” itu seperti sebuah bibimbap yang lengkap, ada nasi, telur, sayur rebus, dan menjadi satu ketida diaduk dengan saus pedas Gochujang. Lengkap pokoknya.
Memang ini bukan pertama kali saya menyaksikan film ini. Tapi, film yang berdurasi 129 menit akan cukup mengenyangkan anda dengan kesan tontonan yang cerdas. Terbukti, film ini merupakan film terbaik versi Piala Citra sekaligus menyabet 4 penghargaan lainnya. Walaupun sudah satu setengah dekade film ini dirilis, ternyata apa yang diceritakan dalam “Arisan!” masih cukup mengena di masa kini. Yang pasti, ini merupakan salah satu film Indonesia terbaik yang pernah dibuat. A modern classic!