Nama Robin Cavendish mungkin tidak terlalu dikenal di Indonesia. Namun, di Inggris, negeri kelahirannya, Ia cukup berjasa dalam memperjuangkan hak-hak pasa disabilitas. Dalam “Breathe,” penonton akan diajak masuk ke melewati periode demi periode perjuangan Cavendish dalam melawan penyakit Polio yang melumpuhkannya.
Robin, begitu panggilannya, merupakan seorang tea broker asal Inggris. Sosok yang diperankan oleh Andrew Garfiled ini, mengawali kisah film ini dengan cerita percintaan yang dikemas singkat pada sosok Diana Mary Blacker, yang diperankan oleh Claire Foy. Diana, wanita cantik nan anggun, sekaligus sosok heartbreaker, mampu ditaklukkan Robin. Terutama saat Ia mengajaknya untuk menikah dan ikut bersamanya ke Kenya.
Keduanya kemudian menikah dan menjadi hidup penuh petualangan di Kenya. Namun malang, tidak berapa lama pernikahan mereka, Robin tiba-tiba menjadi lumpuh di suatu malam. Ia pun di vonis mengidap virus polio, yang berhasil masuk ke paru-paru dan melumpuhkan seluruh tubuhnya. Dengan menggantungkan hidupnya pada sebuah respirator, film ini akan bercerita banyak akan kelanjutan perjuangan Diana dalam merawat Robin.
Sungguh menginspirasi! Sedari awal, film ini sudah memukau saya dengan tampilan shot-shot yang menarik. Terutama pemandangan naturalnya yang begitu asri. Saya menyukai momen saat Robin dan Diana berciuman dibalik sunset di padang gurun Kenya, sambil ditemani lagu “True Love.” What a romantic moment!
Tapi, namanya bukan cerita kalau tidak ada konflik. Pergolakan Robin di awal masa sakitnya juga cukup menyedihkan. Ia mengalami depresi dan berniat untuk lekas mati saja. Namun, seperti kata pepatah, ‘di belakang pria kuat, selalu ada wanita hebat.’ Diana berhasil mengubah Robin. Ia menjadi ‘alat’ Robin untuk mencapai segala keinginannya. Sosok Robin yang serba bergantung, masih bisa merasa hidupnya berwarna, semua berkat istri, putra dan sosok-sosok disekelilingnya.
Cerita film ini berasal dari sebuah kisah nyata. Tepatnya, dari sosok Jonathan Cavendish, putri Robin yang juga sekaligus merupakan seorang filmmaker. Jonathan kemudian menunjuk William Nicholson untuk menulis kisah perjuangan Robin sebagai pengidap Polio yang berhasil bertahan hampir selama 36 tahun. Jonathan juga turut serta sebagai salah satu produser film ini.
Andy Serkis, aktor yang lebih kita kenal untuk memerankan karakter seperti Gollum ataupun Apes, memulai directorial debut-nya dalam film ini. Untuk sebuah debut, usaha Serkis terbilang lumayan, walaupun kadang kesan sentimentil yang diperlihatkan kedua pemeran utamanya masih terasa kurang berhasil menyentuh saya. Cuma, drama periode ini dikemas dengan menarik. Saya menyukai sisi makeup dan kostum yang terasa cukup menonjol di film ini. Jan Sewell, makeup artist film ini, bisa memberikan banyak perbedaan dari sosok Robin dan Diane muda hingga mereka berusia 60-an. Transformasi ini pun didukung dengan chemistry Andrew Garfield dan Claire Foy yang cukup menyatu dan berkesan.
Andrew Garfield semakin membuktikan kalau Ia merupakan aktor yang memang bisa berakting. Saya awalnya tidak terlalu menyukai perannya dalam “The Amazing Spiderman,” saat menjadi Spider-Man dengan versi childish. Tapi, kian lama, melihat penampilannya dalam “Hacksaw Ridge” dan di “Breathe,” Ia berhasil memikat penonton dengan kemampuan aktingnya. Memerankan sosok Robin yang hampir 90 persen dalam film ini hanya terbaring dan duduk di kursi khusus, tentu merupakan sebuah tantangan yang berat.
Begitupun Claire Foy. Aktris yang semakin dikenal semenjak perannya dalam serial “The Crown” untuk memerankan Queen Elizabeth II, sekaligus meraih sebuah Golden Globes. Disini, Foy berhasil memerankan sosok Diana yang tangguh, yang sama sekali jarang memperlihatkan kesulitannya.
Menyaksikan film ini, saya semakin salut dengan sosok asli Diana Mary Blacker Cavendish. Wanita berparas cantik ini masih setia untuk mengurus suaminya yang tidak berdaya sampai sekian puluh tahun. Ini membuktikan betapa besar cinta yang Ia berikan. Mungkin jika Diana tidak demikian atau memutuskan untuk menikah kembali, saya yakin, Robin Cavendish tidak akan bertahap hidup sepanjang itu.
Kekuatan cinta Diana merupakan kunci yang selalu memberikan semangat dan harapan untuk seorang Robin. Mengutip perkataan Robin, “When I first became paralysed, I wanted to die. Yeah, I wanted to die. But my wife wouldn’t let me. She told me I had to live. To see our son grow up. So I went on living… because she told me to. Because of her, really. And with her. And for her. And every day since then, I’ve accepted the risk of dying because I don’t want to survive. I want trully live.”
Secara keseluruhan, “Breathe” dikemas dengan cukup baik, lewat penampilan yang lumayan berkesan, dibalik sebuah kisah inspirasi yang luar biasa. Saya tidak terinspirasi bagaimana Robin Cavendish berusaha melawan penyakit yang dideritanya, tetapi saya terinspirasi dengan kesabaran, ketangguhan, dan keuletan Diana untuk benar-benar berusaha membuat sosok yang dicintainya bisa bertahan, dan semua atas nama cinta. Wow!