Di balik kejayaan Bulutangkis Indonesia yang mendunia, siapa sangka jika medali Olimpiade pertama Indonesia malah berasal dari panahan. Saya masih ingat saat kecil dan membaca fakta ini di Buku Pintar karangan Iwan Gayo di bagian kilas sejarah Indonesia. Tiga orang perempuan bernama Nurfitriana Saiman, Lilies Handayani dan Kusuma Wardhani. Mereka pun mendapat sebuah julukan, yakni, “3 Srikandi,” seperti judul film ini.
Kisah berawal dengan menceritakan background peristiwa boikot Olimpiade Moscow pada opening credit-nya. Penonton akan mengenal sosok Robin Hood Indonesia, Donald Pandiangan, seorang atlit panahan Indonesia berprestasi yang diperankan Reza Rahadian. Di tahun tersebut, Donald berhasil menjadi salah satu pemanah terbaik dunia, apalagi setelah Ia sempat memecahkan rekor dunia di sebuah kompetisi internasional. Sayang, adanya boikot Olimpiade membuat Indonesia bergabung dengan banyak negara untuk tidak berpartisipasi. Padahal, ini merupakan harapan terakhir Donald: meraih sebuah medali di Olimpiade.
Menjelang Olimpiade di Seoul, Udi Harsono, sekjen Persatuan Pemanah Indonesia yang diperankan oleh Donny Damara mencari kandidat pelatih untuk tim putri. Nama Donald Pandiangan pun muncul dalam benaknya. Malang, semenjak kecewa dengan boikot, Donald menghilang dari dunia olahraga Indonesia. Berkat seorang petugas, Udi mencari tahu tempat keberadaan Donald. Hasilnya, Donald setuju untuk menjadi pelatih tim putri dengan satu syarat: melatih dengan caranya sendiri. Ia kemudian membuat seleksi pelatnas yang diikuti oleh putri-putri pemanah dari seluruh Indonesia. Tiga nama pun terpilih. Ada Nurfitriana Saiman asal DKI Jakarta yang diperankan oleh Bunga Citra Lestari; Lilies Handayani dari Jawa Timur, diperankan oleh Chelsea Islan; dan Kusuma Wardhani asal Sulawesi Selatan yang diperankan oleh Tara Basro.
Saya merasa “3 Srikandi” terasa begitu ambisius. Film ini seperti menggunakan formula yang cukup sukses dari film lain, dengan mempertemukan kembali Reza Rahadian dan Bunga Citra Lestari. Bedanya, tidak sebagai suami istri dalam “Habibie dan Ainun” ataupun majikan pegawai dalam “My Stupid Boss.” Disini, keduanya dihadirkan dalam hubungan pelatih dan murid dengan sedikit kesan romance yang hadir secara implisit. Jujur saja, di versi film ini adalah yang paling tidak berkesan dari film-film pendahulu kolaborasi keduanya.
Tentu penonton sudah tahu jelas seperti apa yang akan terjadi dengan ending-nya. Namun, proses mencapai hal itu yang coba diangkat dalam film besutan Imam Brotoseno ini. Brotoseno yang juga menulis ceritanya bersama Swastika Nohara menghadirkan sebuah perjalanan yang mencoba menginspirasi, tapi tidak berhasil menyentil. Penonton akan melihat bagaimana treatment tangan dingin Donald Pandiangan yang “berhasil” menggembleng tiga muridnya dengan cara yang unik. Seperti bagaimana ketiganya berlatih memanah sambil menjaga keseimbangan dengan berdiri di atas sebuah barrel hingga berlatih di pinggir laut.
Sayang saja, animasi yang digunakan di film ini juga amat terasa kurang menarik. Terasa sekali seperti saat menyaksikan efek anak panah buatan yang sedang bergerak, yang kembali mengingatkan saya dengan efek yang dipakai sinetron-sinetron 90-an. Dramatisasi efek dengan kelas sinetron jadul.
Tidak hanya kisah suka duka saat berlatih, tapi film ini juga diisi dengan cerita pribadi Donald, Yani, Lilies dan Kusuma sebagai pelengkapnya. Cerita-ceritanya inilah yang menjadi pelengkap, ditambah dengan dua adegan menyanyi yang terasa hanya memakan durasi. Cuma yang menarik disini, film ini ‘cukup niat’ untuk menyajikan kesan akhir 80-an.
Anda akan menemukan beberapa lagu 80-an seperti “Astaga” sampai “Ratu Sejagad,” plus sebuah poster Onky Alexander yang terpampang disamping ranjang Kusuma. Yang patut diapresiasi adalah ketika film ini mencoba menampilkan venue panahan di Seoul, sampai lengkap dengan panggung untuk para media. Sayang saja, figuran penonton yang ikut serta dalam adegannya, walaupun di blur, masih jelas terlihat sebagai orang lokal kita. Alhasil, film ini seperti mencoba menghidupkan suasana Seoul dengan sentuhan latar pribumi. Lho!
Dari banyak kekurangannya, at least mengangkat kisah ini membuat kita tidak boleh lupa dengan prestasi olahraga panahan negeri ini. Penonton bisa tahu dengan peristiwa dibalik layar Olimpiade Seoul pada tim putri panahan Indonesia. Setidaknya, “3 Srikandi” berhasil menjadi salah satu referensi pelengkap tentang sebuah prestasi yang tidak boleh dilupakan dalam sejarah olahraga Indonesia, walaupun sebetulnya sangat amat disayangkan tidak begitu berhasil menginspirasi.