Anda pernah mendengar kisah Von Trapp Family? Mungkin bisa saja belum. Tapi jika anda tahu, kisah mereka pernah diadaptasi dan menjadi salah satu klasik terindah sepanjang masa, “The Sound of Music.” Sebetulnya, ada lagi kisah musikal tentang keluarga yang lebih lama. Ada sebuah film garapan serius 20th Century Fox berjudul “There’s No Business Like Show Business.” Film ini mengangkat sebuah kisah fiksional tentang sebuah keluarga yang bernama Donahue.
Cerita berawal di tahun 1919, saat The Donahues Family masih hanya terdiri dari 2 orang saja. Mereka adalah Terence dan Molly, yang diperankan oleh Dan Dailey dan Ethel Merman, yang merupakan entertainer. Sebagai bagian kecil dari vaudeville, sebuah jenis hiburan yang nge-tren di jamannya, dimana mereka akan bernyanyi sekaligus menari sambil kadang juga memasukkan unsur slapstick dalam penampilannya.
Singkat cerita, keluarga mereka menjadi semakin besar setelah lahirnya Steve, kemudian Katy, dan Tim. Ketiganya pun juga dilibatkan oleh kedua orangtuanya untuk ikut tampil, walaupun hanya muncul di saat bagian penutup. Singkat cerita, Terence dan Molly memasukkan putra-putri ciliknya ke sebuah sekolah berasrama. Usaha ini sepertinya bertentangan dengan anak-anaknya. Terbukti, Steve dan Tim sudah dua kali ketahuan untuk kabur, dan membuat pihak sekolah memanggil orangtua mereka yang sibuk. Tahun demi tahun pun berlalu, begitupun Donahues. Steve, Katy dan Tim sekarang ikut ambil bagian dalam pementasan mereka yang berjudul ‘The Five Donahues.’
“There’s No Business Like Show Business” sebetulnya adalah salah satu film musikal terakhir dari Irving Berlin. Berlin sendiri sudah dikenal dengan banyak hits di jamannya seperti “Top Hat,” “Alexander Ragtime’s Band,” ataupun lagu “White Christmas” yang sudah menjadi essential tracklist di setiap perayaan Natal. Di film ini sendiri, penonton akan cukup dikenyangkan dengan lagu-lagu Berlin. Bagaimana tidak, ada sekitar 15 lagu di sepanjang 117 menit cerita. Yah¸ porsi musikal di film ini cukup kontras bila membandingkan dengan cerita yang dihadirkan.
Ada banyak lagu menarik yang menurut saya cukup menarik di sepanjang film ini. Track favorit saya sebetulnya adalah opening number film ini, “When the Midnight Choo-Choo leaves for Alabam” yang dinyanyikan Ethel Merman dan Dan Dailey. Walaupun terasa sekali kalau suara keduanya kurang terlalu berharmoni satu sama lain, tapi lagu yang berdurasi kurang dari 2 menit ini yang paling terasa menghibur.
Lagu berikutnya adalah solo milik Marilyn Monroe. Judulnya, “After You Get What You Want You Don’t Want It.” This is my favourite of her scene on this film. Monroe sedari awal sudah cukup kontras dengan imej bomb sex-nya, ketika karakternya yang sedang bertugas sebagai penjaga di tempat penitipan jaket dan topi bertemu dengan Tim yang diperankan O’Connor. Monroe kemudian semakin memperjelas dan memikat dengan penampilan seksinya di film ini. Selain kedua lagu ini, ada beberapa track yang juga tetap menarik untuk didengar seusai menonton. Misalnya seperti “There’s No Business Like Show Business” yang mengiringi opening credits film ini, dan juga “Play a Simple Melody” yang dinyanyikan duet Merman dan Dailey.
Porsi musikal cukup mendominasi jalan cerita. Tanpa musikal, cerita yang ditulis oleh Lamar Trotti ini pasti cukup panjang. Ini yang akan membuat penonton akan terasa cepat sekali dengan plot cerita yang terkesan hadir begitu saja. Terbukti, tidak akan ada perbedaan yang terlihat jelas dari makeup pada Terence dan Molly.
Kalau bicara set film ini, terlihat jelas kalau film ini dibuat dari salah satu stage milik Twentieth Century Fox. Saat saya mengeceknya di IMDB, benar saja, film ini dibuat di Stage 9. Kesan glamour, elegan dan mewah terasa memenuhi tontonan. Bermainkan banyak penari di nomor-nomor musikal, sampai kostum buatan Charles Le Maire, Travilla, dan Miles White yang tampil menonjol di sepanjang film. Khususnya, pada gaun-gaun yang dikenakan Merman dan Monroe di sepanjang film.
Di balik dari kesan yang menghibur, film musikal ini sebetulnya punya beberapa hal yang hadir secara implisit. Misalnya saat bagaimana Monroe yang masih sempat untuk menampilkan adegan bagian tangan dari gaun yang terjatuh, yang kemudian dengan sigap diangkatnya dan tidak menjadi adegan plus di film ini. Begitupun saat karakter Steve yang sedang dibahas kedua orangtuanya. Steve sangat berbeda dengan Tim yang playboy, yang memberikan kesan kalau Ia seorang gay. Walaupun pada masanya terbilang tidak begitu lazim, dalam kenyataannya, di tahun-tahun berikutnya, Johnnie Ray yang memerankan Steve merupakan seorang homoseksual.
Film ini menghabiskan biaya sekitar $4,340,000 dan hanya meraih $5,103,555. Faktor banyak delay pada produksi membuat biaya film ini membengkak. Dari angka, mungkin terlihat untung. Tetapi dari sisi studio mereka malah merugi. Salah satu yang paling terlihat jelas saat ini merupakan debut sekaligus the only one film buat Johnnie Ray. Ray yang juga merupakan seorang traditional pop singer, jauh lebih berhasil saat Ia mengembangkan genre Rock and Roll di masanya.
Film ini disutradarai Walter Lang, sosok yang nantinya akan menyutradarai “The King and I.” Alhasil, Lang menghadirkan sebuah tontonan yang masih cukup menghibur, tetapi kurang berkesan. Sayang, durasi panjang film ini seringkali membuatnya tidak ditayangkan di televisi pada dekade-dekade berikutnya dan menjadi salah satu yang terlupakan. Menyaksikan film ini seperti membawa penonton ke jaman kejayaan musikal, terutama saat film berwarna mulai mendominasi film hitam putih. Setelah menyaksikan film ini, saya menimpulkan tiga alasan kenapa film ini menarik: Irving Berlin’s Songbook, Ethel Merman and Marilyn! It’s time for The Donahues!