Teringat jelas ketika beberapa rekan saya yang cukup excited menunggu “Critical Eleven.” Ada yang karena sangat suka dengan versi bukunya, ada pula yang menanti kombinasi Reza Rahadian dan Adinia Wirasti. Untung, saya tidak termakan hype tersebut. Seusai menyaksikan “Critical Eleven,” saya yakin versi bukunya pasti jauh lebih menarik dibanding filmnya. Ini review saya yang sama sekali belum pernah membaca buku best seller Ika Natassa.
Kisah film ini terfokus pada hubungan sepasang suami istri. Yang laki-laki bernama Ale, panggilan dari nama aslinya Aldebaran, sebuah nama yang mengingatkan saya dengan nama kota di permainan online “Ragnarok” jaman dulu. Ale, yang diperankan oleh Reza Rahadian, menghabiskan banyak waktunya untuk bekerja dari rig ke rig. Yang perempuan bernama Anya, diperankan oleh Adinia Wirasti. Ia merupakan seorang perempuan karir yang punya hidup cukup nyaman di Jakarta.
Pertemuan keduanya diawali saat mereka duduk bersampingan di sebuah pesawat. Kisah cinta mereka berlanjut, sampai akhirnya keduanya mantap masuk ke jenjang berikutnya. Setelah resmi menjadi sebagai suami istri, mereka berdua menghadapi babak baru yang penuh dengan drama yang tidak pernah mereka harapkan.
Jika tidak ada sponsor-sponsor yang terlalu eksplisit menambah durasi cerita, mungkin nilai film ini akan lebih. Yah, fenomena ini ternyata masih sering dipakai di film Indonesia dan sedikit bikin risih di mata. Jika membahas ceritanya, sebetulnya apa yang diangkat Ika Natassa dalam bukunya sepertinya memang lebih cocok untuk menjadi bersinar sebatas buku. Sebetulnya saya cukup menikmati ceritanya yang membahas banyak hal dari sepasang suami istri. Mulai dari keluar zona nyaman, mencoba memahami pasangan satu sama lain, bangkit dari kejatuhan hingga mempertanyakan kembali akan cinta keduanya. Tapi, eksekusi filmnya, amat disayangkan sekali.
Film ini membuktikan ke saya jika membangun chemistry kedua pemain utama tidak harus memperlihatkan banyak ciuman. Sedari awal film ini menampilkan banyak sekali adegan ciuman yang seakan memberi kesan intimacy keduanya, tetapi malah terasa menjadi seperti cukup mengganggu dan malah memunculkan opini ‘sebenarnya ini mau ceritain apa sih’ di benak saya. Dan jadi salah fokus. Ini sebetulnya film 24 fps (frames–per–second) atau 24 fpk (frames-per-kiss)?
Selain ngomongin ciuman, saya cukup merasa kalau editing film ini juga lumayan kasar. Ini tampak jelas bagaimana saat suatu adegan berjalan dan tetiba berlanjut dengan adegan yang sama namun dengan sudut pengambilan kamera yang berbeda. Ataupun jika anda jeli, anda akan menemukan beberapa goofs seperti yang saya temukan disini.
Terakhir, pemandangan selalu jadi formula utama film Indonesia. Demikian juga film ini. Saya masih ingat dengan adegan Ale dan Anya ketika mereka memulai kehidupan mereka di New York. Film ini seakan memberikan kesan “Hey, we’re in New York” ke penonton, dan sebagai penonton gw bakal bilang “So what! Trus gw musti bilang wow gitu… Haha..”
Yah, “Critical Eleven” punya penilaian yang juga critical dari subjektif saya. Sebetulnya cerita yang mau diangkat Ika Natassa juga terbilang sederhana dan punya potensi besar untuk menginspirasi. Sayang saja, banyak hal yang membuat eksekusi filmnya terasa not-so-wow yang terasa menghabiskan waktu saja.