Setelah hampir 43 tahun, “Murder on the Orient Express” hadir kembali ke layar perak dengan format serupa, tapi lebih modern. Sebagai salah satu kerjasama Twentieth Century Fox dengan The Estate of Agatha Christie, ceritanya sendiri diadaptasi kembali oleh Michael Green, penulis dibalik beberapa hits di 2017, seperti “Logan” ataupun “Blade Runner 2049.”
Hercule Poirot, seorang detektif asal Belgia, yang diperankan oleh Kenneth Branagh memulai aksinya di film dengan memecahkan misteri pencurian di Gereja Holy Sepulchre, Jerusalem. Keberhasilannya untuk menjawab pelaku misteri ini membuatnya diundang kembali ke London. Padahal, Ia sebetulnya ingin menikmati hidupnya di Istanbul.
Dalam perjalanannya menuju London, Ia berangkat dengan menaiki kereka Orient Express dari Istanbul. Keberangkatannya ternyata mempertemukan dirinya dengan penumpang lain bernama Edward Ratchett, seorang pebisnis kaya yang diperankan oleh Johnny Deep. Ratchett yang mengenali Poirot meminta bantuan untuk menjadi pelindungnya, oleh sebab ancaman pembunuhan yang menghantuinya. Sayang, Poirot menolaknya.
Selain mereka berdua, kereta tersebut berangkat dengan berisikan 12 penumpang lainnya. Tragedi dimulai ketika di malam pertama, Ratchett dibunuh di ranjangnya dengan tusukan-tusukan. Menjadi salah seorang penumpang yang ada di kereta Orient Express membuat Poirot ingin melakukan investigasi pembunuhan tersebut. Ia pun memulai perjalanan untuk mewawancarai satu per satu para penumpang, demi membuka fakta dari rentetan kejanggalan yang terjadi.
Jujur, saya mungkin salah seorang yang tidak besar dengan tulisan-tulisan Agatha Christie. Tetapi kisah-kisah investigasi seperti adalah sesuatu yang menarik. Komik Detektif Conan adalah salah satu bacaan saya saat kecil dulu. Walaupun terasa sedikit mengerikan untuk membaca kasus-kasus pembunuhan, saya cukup tertarik untuk menikmati cerita jenis seperti ini. Sebab, jika digarap dengan cukup oke, penonton seperti saya akan terus bertanya-tanya dan menebak siapa pelakunya. Sayang, adaptasi Michael Green ini malah membuat saya tertidur-bangun-dan-tertidur lagi.
Tapi tenang, bagian yang terlewatkan tersebut kembali saya ulangi. Maklum, saya menyaksikan film ini tanpa subtitle dan berusaha mencerna dialog para pemainnya yang punya accent kental, yang lumayan mempengaruhi pemahaman saya dengan filmnya. Sutradara film ini, Kenneth Branagh, tentu sudah bukan nama yang asing. Ia juga terkenal senang untuk menyutradarai sekaligus memerankan filmnya sendiri, seperti “Henry V”, “Much Ado About Nothing”, maupun “Hamlet.” Ia juga terbilang sudah terbiasa untuk mengarahkan film-film bertemakan cerita adaptasi.
Di film ini Branagh menghadirkan sebuah kesan yang baru walaupun masih mempertahankan kesan all-star cast-nya. Kereta Orient Express dihadirkan lebih modern, berkelas, dan tentu lebih artistik. Saya menyukai production design dan set decorator film ini yang digawangi Jim Clay dan Rebecca Alleway. Film ini terkesan mengingatkan saya dengan kesan yang saya temukan dari franchise “Harry Potter”, “Hugo” ataupun “Star Wars.” Maklum saja, para art direction yang mengerjakan film ini juga turut serta dalam film-film tersebut. Begitupun cinematography-nya. Haris Zambarloukos, DOP asal Cyprus ini menampilkan shot dengan angle tajam seperti bird’s eye ataupun long shot dalam kereta yang terbilang mulus.
Begitupun dengan aktingnya. Branagh hadir sebagai Poirot, detektif OCD dengan kumis yang lebih panjang. Cast lainnya pun tidak kalah, banyak method actor yang dilibatkan. Mulai dari Michelle Pfeiffer, Penélope Cruz, Derek Jacobi, Willem Dafoe sampai Judi Dench. Bicara aktingnya dalam film ini sudah tidak perlu untuk diragukan lagi. Sebuah ensemble yang seharusnya bisa secemerlang versi lamanya, ataupun seperti “Gosford Park.”
Jika anda sadari, ending film ini juga memberikan sebuah kode keras untuk kelanjutan sekuelnya. “The Death on the Nile” sepertinya, bila menyimak dari pesan messenger untuk Poirot. Ini terlihat jelas jika The Estate Agatha Christie akan kembali menghadirkan versi baru kisah-kisah misteri klasiknya, yang sebetulnya sudah difilmkan sejak 1970-an.
Malangnya, film ini kurang bekerja buat saya. “Murder on the Orient Express” terasa terlalu ambisius dan bergerak dengan datar. Walaupun berbekal dengan tampilan yang indah, dan mungkin saking telalu baiknya, film ini akan sangat cocok untuk menjadi tontonan sebelum tidur.