Berhasil menjadi salah satu spotlight pada awards season tahun ini, film ini membuat saya penasaran. “Lady Bird” merupakan sebuah directorial debut yang berhasil. Tidak percaya? Buktinya film ini meraup 5 nominasi Oscar dan juga meraih titel film comedy or musical terbaik di Golden Globes.
Jika memperhatikan judulnya, anda jangan terkecoh dengan nama Lady Bird. Ingatan saya selalu mengaitkannya dengan salah satu first lady Amerika Serikat, Lady Bird Johnson. Juga, ini bukan Ladybird, salah satu species jenis kumbang ladybug. Ini bukan sebuah biografi ataupun dokumenter. Film ini akan berkisah tentang Christine McPherson, seorang gadis yang sebentar lagi menamatkan high schoolnya. Ia diperankan dengan sangat apik oleh Saoirse Ronan.
Christine merasa namanya adalah pemberian orangtuanya. Tapi, Ia juga merasa pantas untuk menamai dirinya sendiri. Ia lebih senang untuk dikenal sebagai Lady Bird. Film ini mengajak penonton kembali ke tahun 2003, tepatnya di Sacramento. Sebentar lagi Lady Bird akan menyelesaikan pendidikannya di sebuah sekolah Katolik, yang cukup tegas serta masih konservatif.
Mungkin, tidak ada yang spesial dari Lady Bird. Ibunya, yang diperankan oleh Laurie Metcalf, berprofesi sebagai seorang dokter, sekaligus menjadi tulang punggung keluarga. Ayahnya, yang diperankan oleh Tracy Letts, mengalami depresi setelah sekian lama menjadi pengangguran. Sedangkan saudara laki-lakinya dan kekasihnya, menjadi pelengkap cerita dibalik gaya ekstrim mereka.
Film ini bercerita tentang seorang gadis yang sudah mau dewasa. Terjebak dalam kondisi konservatif, memancing semangat young rebel Lady Bird untuk bercita-cita hidup di California. Ia ingin keluar dari kota itu, dan merasakan gaya hidup yang berbeda. Sayangnya, sang Ibu tidak sepaham dengannya. Kerasnya sifat keduanya akan mewarnai cerita film ini. Kadang, mereka tampak akur. Tapi juga tidak lama mereka akan beradu mulut. Mereka juga saling menyayangi, namun keduanya tidak mampu memperlihatkannya secara langsung. Hanya ikatan emosional yang mampu menyatukan mereka.
Nama Greta Gerwig mungkin sudah tidak asing. Ia merupakan kekasih sutradara Noah Baumbach, dan juga merupakan seorang aktris. Ia juga sempat menulis naskah “Frances Ha.” Bedanya, disini Ia menulis ceritanya dan menyutradarai filmnya. Alhasil, Ia berhasil menjadi perempuan kelima yang menerima nominasi sutradara terbaik ajang Academy Awards. Sebelumnya, sudah ada Lina Wermuller, Jane Campion, Sofia Coppola, sampai Kathryn Bigelow yang berhasil memenangkan penghargaan ini atas “The Hurt Locker.”
Gaya penceritaan Gerwig menarik. Ia memotong-motong kisahnya, dengan ciri khas adegan yang linear dengan cara terpotong-potong. Gerwig tahu betul untuk menyusun ceritanya dengan menarik. Ada bagian Ia terkesan membolak-balikkan adegannya, dan itu berhasil. Ketrampilan Nick Houy untuk mengeksekusi editing film ini juga perlu dilirik.
Gerwig juga senang untuk memasukkan audio terlebih dahulu pada setiap transisi adegannya. Begitupun musik yang dikemas oleh Jon Brion dengan mood yang menyenangkan dan cukup menjaga mood saya untuk tetap tertarik dengan film ini.
Gerwig senang melakukan improvisasi dalam adegannya. Cerita film ini terbilang jenaka. Maklum, kita harus menikmati cara pemikiran Lady Bird yang naif, nekat dan berani berpendapat. Kisahnya sangat kental dengan kehidupan remaja. Mulai dari aksi usil pada guru mereka, prom night, cerita persahabatan, first time sex experience sampai mengaitkan tema LGBT dalam ceritanya.
Saya suka dengan akting Saoirse Ronan dan Laurie Metcalf. Keduanya berhasil menghadirkan penampilan yang memikat. Begitupun dengan supporting actor film ini, Timothee Chalamet dan Lucas Hedges. Keduanya berhasil memerankan karakter mereka dengan permasalahannya masing-masing. Saya cukup tidak menyangka saat menyaksikan adegan Saoirse Ronan ataupun Lucas Hedges yang bernyanyi.
“Lady Bird” menjadi film yang lumayan menarik untuk dilirik. Ceritanya tidak terasa berat dan rumit, namun mudah dinikmati. Keinginan Lady Bird untuk punya banyak hal, merupakan hal menarik dari ceritanya. Saya suka dengan semangat #YOLO yang kadang membuatnya menghalalkan segala cara. Sampai akhirnya, Ia pun belajar. Belajar untuk menerima kenyataan, yang kadang tidak selalu sama dengan keinginan. Bravo!