Kisah cinta dalam film kadang terasa manis, berlebihan, hingga begitu tragis. Beda dengan yang satu ini. Guillermo del Toro are back! “The Shape of Water” menyajikan sesuatu yang sangat berbeda. Bukan layaknya kisah “The Notebook” ataupun “Romeo and Juliet,” tetapi juga tidak seperti “King Kong.”
Cerita film ini bersetting di periode 1960an, ketika Amerika Serikat dan Uni Soviet sedang asik-asiknya melakukan perang dingin. Di sudut salah satu Baltimore, tepatnya diatas sebuah bioskop, tinggal seorang wanita bisu bernama Elisa Esposito, diperankan oleh Sally Hawkins, yang bekerja sebagai janitor. Pembersih ruangan? Ya, tapi jangan salah sangka. Elisa tidak bekerja di tempat sembarangan. Biar setiap harinya Ia membersihkan sisa kencing yang masih bertebaran di toilet pria, tetapi Ia termasuk cukup penting. Ia bekerja di Occam Aerospace Research Center. Tempat ini merupakan salah satu research center Amerika Serikat, yang notabene sebagai salah satu senjata mereka melawan blok timur.
Elisa bersama rekan kerjanya, Zelda, diperankan oleh Octavia Spencer, setiap harinya membersihkan ruangan dan juga menelusuri lorong-lorong panjang masing-masing bersama trolley mereka. Suatu ketika, sebuah tabung besar dibawa menuju ruang eksperiman. Keduanya yang kebetulan ada disana menyaksikan kehadiran makhluk asing dari dalam tabung. Tidak jelas bentuknya seperti apa, namun kehadiran Colonel Richard Strickland, yang diperankan oleh Michael Shannon, merupakan pertanda jika ini dibawanya dari selatan Amerika. Dibantu dengan salah satu staf peneliti disana, Robert Hoffsettler, yang diperankan oleh Michael Stulhbarg, pusat riset ini pun mulai meneliti sekaligus merawat species yang belum pernah dikenali ini.
Elisa hidup dalam kesendirian. Setiap pagi, Ia memulai paginya dengan merebus telur, menyiapkan timer, sekaligus bermasturbasi dalam bak mandinya. Ia hidup bersampingan dengan seorang pelukis yang juga gay, Giles, diperankan oleh Richard Jenkins. Walaupun Elisa tidak mampu berbicara, Ia dapat berinteraksi dengan Giles, sekaligus menjadi sahabat satu-satunya bagi pria itu. Kembali ke research center, kehadiran makhluk asing tersebut bukannya memberikan kekhawatiran bagi Elisa. Tetapi, Ia menemukan sesuatu yang lain. Yang tidak pernah disadari oleh orang-orang lain disana, termasuk para peneliti.
“The Shape of Water” really outstanding! del Toro kembali memainkan fantasinya untuk penonton, dan membuat kita untuk masuk ke dalam dunia yang gelap, menyeramkan, tetapi kali ini, begitu dicintai. Saya seakan merasakan kehangatan cinta Elisa sepanjang film. Kekuatan cinta tanpa syarat, yang didasari akan ketidakmampuan pada keduanya. Bagaimana keduanya bisa bersatu, saling menguasai, dan berinteraksi dengan gerak tubuh mereka. Tanpa bahasa, dan inilah yang menjadi keunikan dengan keduanya.
Mungkin hampir dua tahun lalu saya sedikit cukup kecewa dengan “Crimson Peak” yang terasa agak begitu saja. Tetapi menyaksikan film ini, del Toro hadir dengan garapan yang sangat kuat. Cerita cintanya dikemas dengan memadukan ketegangan perang dingin, sekaligus mengajak penonton untuk mengingat kembali film-film masa keemasan Hollywood yang sering tergambar dalam televisi maupun siaran bioskop dalam film ini.
Saya sangat menyukai production set film ini, terutama untuk interior Occam. Salut untuk Paul D. Austerberry, Nigel Churcher, Jeffrey A. Melvin dan Shane Vieau! Begitupun dengan aransemen musik Alexandre Desplat yang menggelegar dimana-mana. So beautiful! Memang sudah tidak mengejutkan, dan Desplat kembali berhasil menyihir saya. Begitupun dengan original soundtrack film ini yang menyajikan kembali beberapa hits lawas, mulai dari “Chica Chica Boom Chic”-nya Carmen Miranda, “A Summer Place”-nya Andy Williams, sampai favorit baru saya “You’ll Never Know”-nya Alice Faye, yang kemudian direndisi oleh Renée Fleming lewat aransemen Desplat.
Yang paling tidak boleh ketinggalan adalah aktingnya. I don’t think this is not too fast, but Hawkins shows how she really deserved for an Oscar next year! Hawkins tampil berani dalam film ini, kaya akan gerakan dan ekspresi, dan menjadi favorit sekaligus contender terkuat pada awards season kali ini. Walaupun anda akan menemukan beberapa full frontal nudity Hawkins dimana-mana, saya agak sedikit khawatir jika film tidak tayang, ataupun tayang dengan sedikit sensor yang sebetulnya bisa mengurangi esensi ceritanya. Saya merasa ini merupakan perannya yang terbaik sepanjang karir Hawkins setelah “Happy-Go-Lucky” lebih dari satu dekade silam, so far.
Di bagian pendukung, film ini punya andalan antagonis, Michael Shannon, yang menghadirkan kesan berkualitas. Juga kedua supporting character di film ini yang diperankan Octavia Spencer dan Richard Jenkins. Spencer selalu berhasil memikat dengan posisinya sebagai tokoh pendukung yang baik hati, dan Jenkins bisa menuai simpati penonton akan kesendiriannya selama ini.
Secara keseluruhan, mungkin akan terasa berlebihan dan cepat jika film ini adalah salah satu yang terbaik di tahun ini. So far, ini adalah favorit saya setelah “Dunkirk.” Film ini mungkin tidak seperti film del Toro lainnya. “The Shape of Water” berhasil menyentuh penonton tidak hanya dari kedalaman gelapnya fantasi, tetapi juga kisah cinta yang tak terucap pelakunya, begitu sensual, dan mampu menuai empati dari penontonnya. Cinta memang selalu tiada batas, seperti makna judul film ini.
Thanks to Fox Searchlight Pictures for providing the screener.