Pertama kali mendengar “Senjakala di Manado,” adalah saat saya menyadari ketika trailer film ini muncul di layar televisi salah satu bioskop. Gara-gara merasa kalau seragam yang dikenakan adalah pakaian saat saya SMA dulu, dan ternyata itu benar. Digadang-gadang sebagai produksi film yang dibuat oleh orang Manado secara keseluruhan, drama keluarga ini mengusung Ray Sahetapy sebagai pemeran utamanya.
Cerita berawal dari seorang pria keturunan Minahasa bersama Johny, diperankan oleh Sahetapy, yang berniat untuk memulai petualangannya sebagai seorang pelaut. Ia kemudian hilang dan tidak pernah pulang ke rumah selama 18 tahun. Kepulangannya kembali ke Manado, bukan menjadi suatu kejutan yang mengenakkan. Ia pun berhasil menelusuri tempat tinggal Ibunya di Tomohon, sekaligus bertemu dengan seorang putri yang tinggal disana. Ia merupakan anak Johny, bernama Pingkan, diperankan oleh Mikha Tambayong.
Johny pun langsung bertindak sebagai sheriff di rumah. Kehadirannya memang tidak diharapkan, tetapi sebagai satu-satunya pria disana, Ia merasa bertanggung jawab untuk itu. Apalagi ternyata dua perempuan tersebut juga punya kekasih hati. Si Oma, yang diperankan oleh Rima Melati, ternyata sudah dekat dengan Opa Franky, diperankan oleh Remy Sylado. Kalau Pingkan, Ia dekat dengan teman sekolahnya, Brando, yang diperankan oleh Fero Walandouw. Kehadiran kembalinya Johny ternyata malah membuat drama di dalam keluarga.
Yang ditawarkan film ini memang cukup spesial buat saya. Penonton akan disajikan keindahan alam Kota Manado, Bitung, Tomohon, dan juga Tondano. Setting tempat ini lebih banyak menampilkan panorama alam dengan suasana yang asri dari Tomohon. Serta, film ini juga dibuat dalam Bahasa Manado, sehingga mungkin akan terkesan tidak familiar jika anda memang tidak pernah mendengarnya. Masalahnya, dari para pemeran yang memang berdarah Manado ini, dalam catatan saya cuma Fero Walandouw yang benar-benar memperlihatkan dialeknya secara natural. Sisanya, dibuat-buat! Ya, sorry to say, kaya orang Manado yang memaksakan untuk berbahasa Manado. (Mungkin ini juga saya).
Film yang disutradarai Deni Pusung ini sebetulnya punya banyak potensi. Selain Ia banyak mengambil set yang terbilang oke, tapi sayang cara pengambilan yang diambil terasa biasa dan kurang berkesan. Alhasil, set-nya terbilang unggul, tapi kurang digali dari pengambilannya.
Dari kualitas akting, saya merasa script film ini terbilang kacau. Masih banyak penggunaan Bahasa Indonesia yang terasa kaku dan tidak cocok dimasukkan. Sebab, menurut saya yang sedikit mengetahui bahasa Manado, sebetulnya ada beberapa kata yang bisa diganti dengan kata yang dipakai masyarakat setempat. Toh, hasilnya pasti akan jauh lebih natural. Setidaknya, menyaksikan ini tidak membuat saya kesal seperti menyaksikan aktor-aktor Indonesia yang sok-sok jago berdialek Manado di televisi.
“Senjakala di Manado” hadir beda tipis dengan FTV-FTV yang “menjual” pesona Indonesia. Bedanya, mungkin anda akan tetap membutuhkan subtitles jika bukan orang Manado untuk memahami ceritanya. Ya, paling tidak semangat film kedaerahan patut kita apresiasi.