Membaca premisnya secara sekilas, “La Cage aux Folles” aka “Birds of a Feather,” berpotensi untuk jadi tontonan yang memecah tawa. Kehidupan sepasang gay senior, yang diperhadapkan dengan suatu kejutan: rencana pernikahan putra tunggal mereka!
Bagian awal film ini, penonton akan diperkenalkan dengan kemeriahan ‘La Cage aux Folles,’ salah satu drag nightclub di Riviera. Para drag queen akan menghibur penonton dengan dress-dress mencolok. Mereka akan menyanyi dan menari. Dari balik panggung ternyata kecemasan terjadi. Bintang mereka, Zaza Napoli aka Albin Mougeotte, yang diperankan oleh Michel Serrault, enggan untuk turun. Alhasil, pemilik sekaligus pasangan Albin, Renato Baldi, yang diperankan oleh Ugo Tognazzi harus turun tangan.
Ia kemudian menyambangi dokter yang juga tetangganya. Keduanya lalu menghadapi Albin yang mengumpat dari dalam selimut. Setelah melewati sesi singkat yang isinya cuma aksi bujuk-membujuk dan ancaman disuntik, akhirnya Albin mau untuk tampil dan melupakan depresinya. Ia kemudian akhirnya naik ke panggung untuk menghibur ratusan penonton yang sudah menunggunya.
Tidak lama setelah itu, muncullah lelaki muda untuk menjumpai Renato. Awalnya, saya mengira kalau pria ini mungkin adalah ‘cowok bayaran’ Renato atau sejenisnya. Ternyata, Ia merupakan putra tunggalnya yang diperankan oleh Rémi Laurent. Ia membawa sebuah kabar baik: Ia mau menikah! Wanita yang dipilihnya bernama Andrea, yang diperankan oleh Luisa Maneri, yang juga merupakan seorang anak dari seorang tokoh politik. Berita baik ini pun berlanjut dengan aksi pemaksaan Laurent pada Ayahnya untuk menutupi statusnya selama ini. “But, after 20 years, I know who I really am, and your stupid deputy isn’t going to ruin that,” ujar pembelaan Renato.
Film Franco-Italian ini memang berangkat dari sebuah premis yang tidak biasa. Berangkat dari sebuah play yang ditulis oleh Jean Poiret di release pada tahun 1973, film ini diangkat ke layar lebar. Di versi bioskopnya, Édouard Molinaro masih menghadirkan Michel Serrault untuk memerankan Albin. Ia kemudian menggandeng aktor veteran Italia, Ugo Tognazzi untuk menjadi main cast di film ini. Yang jadi catatan saya, film ini juga melibatkan Piero Tosi di bagian costume design dan Ennio Morricone untuk menggarap music score-nya.
Keunikan pasangan Renato dan Albin ternyata membawa banyak kelucuan. Mulai dari dekorasi dalam rumah mereka yang punya beragam bentuk ‘nakal,’ vulgar, yang kental dengan kesan queer. Dari yang cuma pajangan, ternyata berpotensi jadi bumbu kelucuan yang tidak terduga. Mulai dari penis patung kayu yang tiba-tiba patah, guci berbentuk bokong, hingga piring bermotif Yunani kuno yang menampilkan adegan homoseksual.
Begitu juga dengan karakter keduanya. Albin hadir sebagai center di film ini. Ia akan mengejutkan penonton dengan teriakannya, gayanya yang eksentrik, hingga kelakuannya yang selalu mencari perhatian. Untung, sosok Renato disini ditampilkan sebagai seseorang yang selalu sibuk dan mampu memahami setiap orang di sekitarnya, di luar dari perilaku feminimnya.
Kelucuan demi kelucuan lumayan memenuhi film ini. Juga, kesan simbolisasi kadang terasa juga. Seperti saat film ini sedikit menyentil tentang skandal politik, pelacuran di bawah umur, hingga adegan seperti ‘Yesus yang sedang memikul salib.’ Tapi saya tidak mau berbicara jauh dengan kesan satir maupun suasana black comedy yang diperlihatkan.
Kembali ke hal jenaka film ini. Saat lawan main cast film ini yang ultra konservatif, tentu jadi faktor lain yang punya banyak potensi untuk menghadirkan tawa. Alhasil, ceritanya seperti memasukkan dua homophobia ke dalam sarang para homoseksual, dan mereka tidak berdaya. Atau dalam perumpamaan yang lebih halus: saat ada dua orang biasa yang mengunjungi rumah The Addams Family. Okay, abaikan saja analogi kasar saya tersebut. In the end, “La Cage aux Folles” trying to tell you that when people clearly defined “they as they are,” you cannot change them. So, you only need to receive them as it is and not trying to force them as they are not. Well…